Curahan Hati Ibu Bocah yang Digilir Tiga Teman Bermain

Kamis 19-01-2023,15:31 WIB
Reporter : Pace Morris
Editor : Doan Widhiandono

Hukum di Indonesia dirasa kurang adil bagi keluarga korban pemerkosaan di Kabupaten Mojokerto. JJ dan SW ingin 3 pelaku pemerkosaan terhadap anaknya, TA, dihukum seberat-beratnya. Namun, hal tersebut bertentangan dengan pasal 21 ayat (1) UU RI Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak. Karena ketiga pelaku masih berusia di bawah 12 tahun.

———

HAMPARAN sawah menghantarkan perjalanan Harian Disway menuju ke sebuah desa di kecamatan Dlanggu, Kabupaten Mojokerto. Tujuan kami adalah rumah TA. Gadis kecil yang menjadi korban pemerkosaan oleh tiga orang bocah berumur 8 tahun.

Kami tidak sendiri, Krisdiansari, penasihat hukum keluarga TA mengawal kami ke sana. Sari panggilan akrabnya, ia menjadi GPS hidup. 

Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam, akhirnya kami bertemu dengan SW, ibu TA. Ini pertemuan kedua kami. Setelah sebelumnya bertemu di Surabaya. Kali ini kami hanya bertemu dengan SW dan TA, karena JJ (suami SW) masih kerja.

“Barusan penyidik dari sini,” kata SW. Saat di perjalanan, kami sudah mendapat kabar bahwa ada penyidik dari Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Mojokerto di sana.

Harian Disway juga sempat melihat rumah kosong yang menjadi TKP perkosaan itu. Rumah itu tidak benar-benar kosong. Ada penghuninya. Saat kejadian, pemiliknya sedang pergi kerja. “Mereka masuknya dari sini, lho,” terang Sari seraya menunjuk sebuah pintu samping.

SW mengungkapkan keluh kesahnya sebagai orang tua korban. Ada kekhawatiran tentang masa depan TA. “Kalau di sini, kan TA pasti ketemu mereka. Dia itu masih trauma. Makanya waktu itu TA minta mondok,” kata SW.

Sebelum membuat laporan ke polisi, kepala desa sempat memediasi keluarga korban dan pelaku. “Waktu itu kita minta supaya mereka HI, FI, sama HS itu dimasukkan ke pondok (pesantren) atau ke mana gitu. Pokoknya nggak di sini lah. Supaya gak ketemu sama TA terus,” ungkap perempuan 30 tahun itu. Tapi permintaan SW dan JJ itu ditolak oleh orang tua pelaku. Mereka beralasan masih masa sekolah. 

Yang membuat SW naik darah adalah sikap orang tua para pelaku yang seakan tidak peduli dengan TA. Mereka sibuk saling menyalahkan. Bahkan orang tua FI dan HS menimpakan kesalahan kepada HI. “Mereka bilang itu kan yang ngajak HI. Nggak sadar kalau mereka juga salah,” kata SW dengan wajah kesal.

Dalam pertemuan yang dihadiri perangkat desa itu, SW dan JJ juga meminta uang untuk biaya terapi TA ke psikolog. Tetapi, yang didapatkan hanya Rp 3 juta. Itu pun patungan. Katanya, keluarga pelaku tak mampu.

Sebenarnya, bukan nominal yang dipermasalahkan oleh SW dan JJ. Namun mereka hanya ingin melihat iktikad baik dari keluarga para pelaku. Tidak ada titik temu. Pertemuan di balai desa itu sia-sia. 

SW bercerita, saat nenek TA mendatangi Rumah HI untuk meminta penjelasan. Kalimat tantangan keluar dari mulut kakek HI. Ia menantang keluarga TA melapor polisi. Keluarga pelaku yakin polisi tidak memenjarakan anak-anak.

“Karena nantang gitu, saya sama Mas JJ dan Mbak Sari ke Polres. Buat laporan,” SW melanjutkan ceritanya. Emosinya pun dicurahkan kepada kami.

Sebelum menuju ke Polres Mojokerto, SW dan JJ membawa TA ke psikolog terlebih dahulu. Di sanalah terungkap bahwa sebelumnya TA sudah 4 kali disetubuhi oleh HI.

Pengakuan TA kepada psikolog itulah yang semakin menguatkan niat orang tuanya untuk tetap menempuh jalur hukum.

Kategori :