Los Angeles Times memuat riset, di Los Angeles saja, ada 200 anak per tahun yang menyaksikan pembunuhan orang tua pada 1994. Itu gabungan pembunuhan ortu oleh orang lain dan pembunuhan dalam keluarga.
Eth dan Pynoos dalam buku mereka itu, juga hasil riset. Terhadap 55 anak dan remaja usia mulai 3 sampai 17 tahun. Mereka pengidap PTSD akibat pembunuhan ortu. Mereka juga diterapi tim psikiater dalam tempo lama.
Hasil riset, Eth dan Pynoos kaget, bahwa luka jiwa PTSD mereka belum sembuh meski sudah diterapi intensif dalam tempo dua-tiga tahun. Penyebabnya: ”Bidang eksplorasi psikiatri yang relatif kurang dilaporkan.”
Disebutkan, anak trauma menyaksikan orang tua meninggal dengan kekerasan, memicu ketidakberdayaan yang luar biasa. Juga, ingatan berkepanjangan tentang saat-saat paling kejam yang mereka lihat atau dengar di kemudian hari.
Setelah diteliti mendalam, di otak anak-anak itu masih menyimpan potongan-potongan memori tentang kejadian yang mereka lihat atau dengar, terkait pembunuhan ortu mereka. Potongan memori itu hidup bagai film di otak mereka.
Digambarkan: ”Misalnya, ingatan tentang bunyi jatuhnya pisau pembunuh ortu mereka. Atau suara tembakan yang mematikan ortu mereka. Atau percikan darah. Kenangan ini sulit hilang di memori otak mereka.”
Mereka menyimpan detail potongan kejadian yang membuat mereka menderita PTSD. Mungkin, itu akan tersimpan di otak, seumur hidup mereka.
Tapi, perilaku mereka tampak normal. Seperti tidak ada bekas luka pada jiwa. Mereka tidak pernah mengeluh atau mengungkapkan trauma tersebut.
Tampilan korban itu memperumit masalah buat psikiater. Kenyataan anak-anak jarang berbicara tentang kengerian yang mereka saksikan justru membikin psikiater salah prediksi. Dikira pasien sudah sembuh, ternyata masih parah.
Untuk memperkuat teori Eth dan Pynoos, dikutip dari The Washington Post, 17 Agustus 2016, bertajuk This is what it does to them?, diungkap suatu kejadinya nyata. Terjadi pada 27 Februari 2016 di Chicago, AS.
Sebuah mobil sedan Chevy berisi sekeluarga. Erick Henry (ayah), Kashe Jaranilla (ibu). Serta dua anak mereka, Kaniya, 7, dan adik laki-laki usia 8 bulan bernama Eman.
Mobil sedang parkir di tepi jalan, di dekat apartemen mereka di Chicago. Poisi duduk: Ayah menyetir, ibu di sebelahnya. Anak-anak di jok belakang.
Mendadak, terdengar rentetan tembakan. Kaniya menggambarkan, bunyi letusan sangat keras beberapa kali. Kaniya mendengar kaca mobil hancur berhamburan dalam kabin mobil. Kaniya seketika menundukkan kepala.
Setelah rentetan tembakan berhenti, Kaniya melihat ayah ibu berdarah-darah. Muncrat di seantero kabin. Ayah sudah tak bergerak. Ibu masih bisa merintih.
Kaniya melihat wajah ibu sangat beda dari biasanya. Sebab, rahang Kashe Jaranilla kena tembakan. Jadi peang tak simetris. Hampir dia tidak mengenali wajah ibu yang penuh darah.
Kaniya mengguncang-guncang tubuh Erick. Tapi, tubuh Erick lunglai tertahan sabuk pengaman. Tak bergerak lagi. ”Mom... Dad...,” teriak Kaniya sekencangnya.