PADAHAL, kalau dibandingkan dengan dulu, hidup di zaman sekarang ini jelas jauh lebih mudah. Untuk makan daging, kita tidak perlu lagi repot-repot berburu; cukup datang ke supermarket. Untuk sekolah pun begitu: tidak mesti hadir di kelas, bisa di mana saja –asal tersambung internet. Apalagi, makin ke sini, makin banyak super-app yang bisa memenuhi hampir segala kebutuhan kita sehari-hari.
Seharusnya, dengan beragam kemudahan itu, kehidupan kita akan kian bahagia. Tapi, yang terjadi kayaknya kebalikannya. Sebagaimana diamati Benny Setiawan Santosa, kita malah terjerembap menjadi manusia yang seperti dilukiskan novelis legendaris Tiongkok Lao She 老舍 (1899–1966), "身在福中不知福" (shēn zài fú zhōng bù zhī fú): berada di tengah kebahagiaan namun tidak merasakan kebahagiaan.
BACA JUGA:Cheng Yu Pilihan Pengusaha Shipping Radian Jayadi: Tong Quan Da Bian
"Makanya kita harus selalu bersyukur, supaya selalu bahagia," kata Benny, yang merupakan direktur PT Bensa Adhi Cipta, PT Bensa Cipta Argo, dan PT Dwi Wono Sari Rasa. Kesemuanya bergerak dalam bidang industri makanan dan minuman. Baik produksi maupun distribusinya.
Lao Tzu, founder Taoisme, telah sejak ribuan tahun lalu mengajarkan kita untuk memiliki sifat merasa cukup (知足 zhī zú). Sebab, dijelaskan Ji Yun 紀昀 (1724–1805), filsuf masyhur dinasti Qing, "Siapa yang senantiasa merasa cukup, hatinya akan senantiasa bahagia; manusia yang sudah tidak mempunyai keinginan untuk menuruti hawa nafsunya, akan mulia akhlaknya" (事能知足心常惬,人到无求品自高 shì néng zhī zú xīn cháng qiè, rén dào wú qiú pǐn zì gāo).
Sebaliknya, ditegaskan Lao Tzu dalam bab 44 Tao Te Ching (道德经), "Siapa yang terlalu banyak keinginan, akan lebih banyak menghabiskan. Siapa yang terlalu banyak menimbun, akan lebih banyak kehilangan. Siapa yang merasa cukup, akan bisa menghindari kehinaan. Siapa yang memahami kapan berhenti, akan bisa menghindari bencana" (甚爱必大费,多藏必厚亡;故知足不辱,知止不殆 shèn ài bì dà fèi, duō cáng bì hòu wáng; gù zhī zú bù rǔ, zhī zhǐ bù dài). (*)