Konsumerisme Anak Muda dan Adiksi Sosialita

Rabu 22-02-2023,17:02 WIB
Oleh: Muhammad Ghifary Mahindisyah

Dewasa ini dengan pesatnya  perkembangan ekonomi, hanya  sedikit  yang menyadari bahwa  manusia  tidak lebih dari pada budak konsumerisme. 

 

Sebagian mungkin tak menyadari bagaimana konsumerisme  membaur perlahan dalam hidup keseharian. Bahkan menyatu dalam diri.  

 

Awalnya apa yang dimiliki, lalu mulai perlahan menjadi memiliki kita dan mengendalikan kita.  Akhirnya  membuat suatu kekangan dan menjadi suatu adiksi tanpa henti.

 

Proses berikutnya,   akhirnya menjadi  cara pandang  dalam kehidupan dan memaknai hidup. Terutama untuk menentukan pilihan membeli barang yang tidak kita butuhkan namun tak lebih untuk membeli produk-produk untuk  memenuhi ego diri dalam rasa gengsi. 

 

Bagaimana strategi yang  dibuat dan diarahkan agar  membeli produk yang tidak dibutuhkan? Yaitu dengan membuat branding ikonik dalam komunitas hedonisme. 

 

Akibatnya  banyak produk yang diincar sekedar  untuk mendapat  pengakuan. Seolah dengan membeli produk tertentu, yang tampak sebagai  produk dari brand besar ternama maka akan terpenuhi nilai gengsi yang dimiliki seseorang. 


Muhammad Ghifary Mahindisyah (tengah) selaku Direktur PT. Produksi Tanpa Batas, Ketua Pemuda Kreasi Tanpa Batas dan Relawan YBSI.-Dok Pribadi-

 

Akibatnya, dia  harus menggali lubang dalam finansial yaitu hutang dan akhirnya utang menjadi membengkak tak terkendali demi gengsi. 

 

Tidak sedikit kita jumpai juga dalam masyarakat banyak pemuda yang terjebak begitu dalam di rantai ini. Membuat mereka membeli sesuatu yang tak mereka butuhkan sebagai suatu bentuk sarana atas pengakuan. 

 

Entah suatu produk seperti pakaian, teknologi, tas, sepatu, jam dengan brand mahal. Mayoritas dari brand mahal ini pun banyak yang diakui bukan karena produk nya namun yang menjadi daya belinya adalah pengakuan atas brand-nya. 

 

Pribadi pemuda seperti ini membuat mereka sangat mungkin untuk menjadi korban dalam taktik manipulasi psikologis yang memanfaatkan kesenangan sementara akibat pengakuan. Cara taktik manipulasi psikologis ini disebut pleasure induction.  

 

Apa itu manipulasi psikologis pleasure induction atau induksi kesenangan?  

 

Saat seseorang menerapkan taktik induksi kesenangan, mereka hanya memberitahu seseorang bahwa tindakan tersebut akan menyenangkan dan orang tersebut akan menikmatinya.

 

Pernahkah  menemukan teman atau seseorang terdekat yang anda kenal berkata seperti ini :

 

"Eh,kenapa pakai cream wajah yang itu? Coba pakai brand yang ini deh sumpah ini lebih bagus banget dan brand nya juga terkenal asal negara X. Banyak artis yang pakai ini, coba lihat juga si A yang cantik itu dia rajin banget pake ini. Agak sedikit pricey tapi serius deh ini brand -nya bagus banget. Kalau pake ini sumpah kece sih kamu".

 

Setelah diperiksa ternyata brand yang anda pakai dan brand yang temanmu sarankan memiliki kandungan yang sama. Hanya saja brand yang disarankan jauh lebih terkenal dan harganya 3 kali lipat. 

 

Hanya karena lebih populer, akhirnya anda menjadi gengsi dan menginginkan produk tersebut. 

Lalu untuk menjaga harga diri anda sendiri agar tidak diduga plin-plan akhirnya membuat anda mengatakan kepada orang lain bila tidak cocok menggunakan cream yang sebelumnya anda gunakan. Lalu, membuat placebo yang dimana anda lebih cocok memakai cream populer tersebut. 

 

Padahal sebenarnya hasilnya tak ada bedanya. Taktik itu banyak sekali digunakan bahkan membuat seseorang menjadi gelap mata dalam konsumerisme untuk mengincar pengakuan. 

 

Setelah akhirnya anda mendapatkan pengakuan ini dari orang orang disekitar anda, meningkat lah dopamine di dalam diri anda. Membuat anda semakin haus akan pengakuan dan layaknya adiksi anda terus berusaha untuk membeli produk produk ini diluar kapasitas kebutuhan anda untuk mendapatkan pengakuan yang tak ada habisnya. 

 

Akhirnya dalam 5 tahun kedepan setelah siap berkeluarga anda tidak memiliki investasi apapun, anda bekerja sebanyak apapun membuat seakan semuanya serba tidak cukup, anda tidak memiliki tabungan apapun dan terjebak dalam lingkaran setan itu. 

 

Pada akhirnya terlilit utang untuk mengejar gaya hidup. Kerja keras yang dilakukan bisa jadi hanya untuk menggali dan menutup utang-utang itu. 

 

Akhirnya tanpa sadar kehidupan anda dapat mudah dikendalikan dengan uang ketimbang usaha dalam sepenuhnya untuk diri anda sendiri. Itu membuat apa yang anda miliki kini, memiliki anda. Anda harus bekerja untuk terus mengejar barang-barang itu. 

 

Selain itu perilaku ini membuat hidup anda menghalangi diri anda untuk dapat menerima kekurangan diri anda sendiri, untuk dapat menikmati hidup secara sepenuhnya maupun untuk dapat stabil secara finansial. 

 

Perilaku ini membuat anda mudah tertipu dengan kebahagiaan dan keindahan yang ada di media sosial untuk terus mengejar konsumerisme secara konstan terus menerus. Menjebak diri pada suatu kompetisi yang disebut rat race yaitu cara hidup di mana orang-orang terjebak dalam persaingan yang sengit untuk memperebutkan kekayaan atau kekuasaan.

 

Akhirnya anda membiarkan hidup anda ditentukan oleh pendapat orang lain tanpa mampu menerima kekurangan diri sendiri dan terbuka pada kelebihan diri sendiri. Memaksa kita untuk hidup memenuhi kata sempurna disaat tidak ada yang sempurna.

 

This is self destruction. 

Ini adalah perilaku destruktif pada diri sendiri. 

 

Pada akhirnya kita tak lebih daripada Produk Sampingan dari suatu Obsesi atas Gaya Hidup itu sendiri. 

 

Banyak dari mereka membuka katalog suatu brand untuk mencari mana produk yang lebih mendeskripsikan diri anda sendiri ketimbang membeli sesuai kebutuhan anda. 

 

Pantas bila Indonesia sebagai negara yang masih berkembang ini memiliki tingkat konsumerisme yang tinggi namun tingkat literasi yang rendah.

 

Mayoritas dari pemuda kita masih hidup dalam budaya lama yang menghentikan pemikiran kritis mereka ataupun mengajari anak muda untuk berpikir terbuka dan kritis. Maka, jangan salahkan bila kita akan digantikan oleh tenaga kerja asing yang lebih mementingkan etos kerja yang tinggi karena mereka memiliki komitmen, dedikasi dan inovasi. 

 

Mereka fokus untuk sepenuhnya mengembangkan bisnis tidak hanya untuk kepentingan diri sendiri ,namun untuk kepentingan bersama yang membuat mereka jauh lebih adaptif dan dapat diandalkan serta dihargai dengan harga yang benar pantas. Tidak lebih maupun tidak kurang, namun cukup sesuai profesi mereka. 

 

Mayoritas dari mereka pun tidak terjebak dalam konsumerisme ini dan sepenuhnya mendedikasikan pekerjaan nya untuk sepenuhnya mendukung perkembangan inovasi yang sewajarnya harus dilakukan ketimbang bekerja hanya untuk mencari uang saja. 

 

Bahkan banyak negara maju, dikarenakan juga mereka membiarkan murid muridnya untuk mengembangkan pemikiran kritis. 

 

Wajar saja bila untuk diterima dalam pekerjaan di luar negeri, mayoritas masyarakat kita harus melewati beasiswa pendidikan atau pendidikan dasar persiapan sebelum berkarir di sana. Sebab, mereka terbiasa terdidik dalam pola pikir kritis dan memiliki karakter yang dibutuhkan untuk perusahaan perusahaan itu. 

 

Ada namun tidak banyak yang dapat bekerja dalam skala internasional dan sukses bila membahas hanya kuliah di dalam negeri. Itu juga bisa menjadi alasan dasar mengapa tak jarang kita temui banyaknya orang yang bisa dikatakan kaya di Indonesia lebih memilih menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah dengan standar internasional hingga kuliah di luar negeri.

 

Padahal kita ini termasuk 4 negara terbesar dalam pendidikan namun tak sejalan dalam kualitasnya, dimana pisa test kita saja secara keseluruhan masih pada peringkat 70 dari 79.

 

Penulis: Muhammad Ghifary Mahindisyah

Direktur PT. Produksi Tanpa Batas, Ketua Pemuda Kreasi Tanpa Batas, Relawan YBSI.

Kategori :