Menjaga Kota sebagai Cagar Budaya (3): Empat Langkah Perlindungan

Menjaga Kota sebagai Cagar Budaya (3): Empat Langkah Perlindungan

Kondisi setelah pembongkaran salah satu cagar budaya yaitu rumah radio Bung Tomo di Jalan Mawar 10 Surabaya. Dahulu di rumah inilah ada masa perjuangan bersejarah yang berkaitan dengan Pertempuran 10 November. --

HARIAN DISWAY - Relasi antara pemilik bangunan dengan investor yang tanpa kontrol bisa berakibat buruk terhadap bangunan cagar. 

Masih di Kota Surabaya, bangunan stasiun kereta api Semut yang dikenal juga sebagai Stasiun Kota yang merupakan bangunan cagar budaya juga nyaris dihancurkan beberapa tahun yang lalu. Ketika atapnya sudah dibongkar total keburu diketahui oleh masyarakat sehingga akhirnya dibatalkan setelah diprotes keras. 

Stasiun kereta api paling awal di Kota Surabaya dan telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya tersebut ternyata bertahun-tahun telah dikelola oleh pihak ketiga (swasta) dengan sistem sewa. Pihak PT Kereta Api Indonesia pada waktu itu kurang mengontrolnya dengan baik sehingga nyaris dihancurkan. 

Hal tersebut mengacu pada kondisi bahwa ketika kota-kota dikembangkan sepenuhnya dengan pola investasi maka yang diharapkan adalah kembalinya modal yang telah ditanam dalam waktu secepat-cepatnya.

BACA JUGA: Menjaga Kota sebagai Cagar Budaya (2): Dampak Kebijakan Neo-liberalisme

Aspek historis-ideologis atas sebuah kota menjadi kurang diperhatikan. Bangunan-bangunan bersejarah bisa menjadi korban karena dianggap tidak memiliki nilai ekonomis yang tinggi dan kurang fungsional secara ekonomi pula.

Ancaman lain adalah bergeraknya kota-kota di dunia menjadi wadah dari globalisasi. Semua aspek yang bersifat global meluncur deras ke kota-kota. Kota menjadi agen utama dari globalisasi tersebut. Sejak tahap tertentu dalam proses globalisasi, negara sebagai lembaga tidak bisa lagi melarang masuknya pengaruh dari luar. 

Hal tersebut diperparah karena inisiatif untuk membangun kota sebagian besar justru datang dari pihak swasta yang sekaligus sebagai agen atas globalisasi tersebut. Merekalah yang memiliki modal sehingga mereka pula yang berinisiatif mengembangkan kota sesuai keinginan mereka. 

Tidak jarang mereka melakukan pembangunan kota dengan tanpa memperhatikan aspek estetika pengembangan kota. Pencampuradukan antara unsur lampau dengan unsur kontemporer tidak jarang dilakukan.

Bangunan-bangunan tua dikontraskan dengan bangunan baru yang membuat kota terlihat tidak serasi serta membuat tidak jelas sekat-sekat perjalanan sejarah kota yang mengacu pada kondisi fisik kota tersebut.

Tidak jarang di kawasan kota tua tiba-tiba muncul bangunan baru yang sangat mencolok dan tidak serasi. Kasus munculnya hotel besar yang terletak hanya beberapa puluh meter dari Benteng Rotterdam di Kota Makassar merupakan contoh kasus yang amat nyata tentang hal tersebut.
Tidak jarang di kawasan kota tua tiba-tiba muncul bangunan baru yang sangat mencolok dan tidak serasi. Seperti kasus munculnya hotel besar yang terletak hanya beberapa puluh meter dari Benteng Rotterdam di Kota Makassar ini. --

Ancaman terhadap bangunan cagar budaya bukan hanya datang dari investor. Tetapi juga datang dari individu, terutama untuk bangunan cagar budaya yang dimiliki oleh perorangan. 

Salah satu sifat manusia adalah menginginkan adanya pembaharuan terus-menerus terhadap bangunan yang dimilikinya. Jika ada perkembangan baru model rumah atau bangunan lain mereka ingin segera meniru untuk diterapkan di bangunan yang dimilikinya. Bangunan-bangunan lama dianggap kurang modern, kuno, renta, kusam, dan lain-lain. 

Kebutuhan terhadap ruang baru karena adanya perubahan aktivitas juga sering kali mendorong mereka ingin mengubah bangunan tua untuk mencukupi keinginan atas ruang baru tersebut. Jika bangunan tua yang mereka ubah bukan bangunan berkategori cagar budaya tidak menjadi masalah. Tapi jika yang diubah adalah bangunan cagar budaya maka bisa mengubah nilai bangunan tersebut. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: