SURABAYA, HARIAN DISWAY - Jadi, siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab terhadap hilangnya 135 nyawa dalam tragedi Kanjuruhan? Dari 5 terdakwa yang diseret ke Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, tiga orang divonis ringan. Dua lainnya malah bebas. Salah seorang yang bebas adalah pemberi perintah penembakan gas air mata.
Tentu belum ada yang bisa lupa peristiwa kelam pada 1 Oktober 2022 di Stadion Kanjuruhan, Malang. Setelah pertandingan Liga 1 Arema FC yang menjamu rivalnya Persebaya Surabaya. Pertandingan itu enak ditonton. Hasil akhirnya 2-3 untuk kemenangan tim tamu.
Setelah itu kerusuhan terjadi. Sejumlah penonton turun ke lapangan. Aparat keamanan menghalau menggunakan gas air mata. Penonton pun berhamburan. Berebut keluar dari stadion. Banyak yang terinjak-injak dan kehilangan napas. Sebanyak 135 nyawa melayang. Belum lagi yang luka berat dan ringan.
BACA JUGA:Alasan Gas Air Mata Terbawa Angin, Dua Polisi Terdakwa Kasus Kanjuruhan Divonis Bebas
Semua mata tertuju ke Kanjuruhan saat itu. Tragedi kemanusiaan yang membuat sepak bola Indonesia terkenal sekaligus tercemar. Presiden membentuk tim gabungan pencari fakta (TGIPF) yang dipimpin Menko Polhukam Mahfud MD. FIFA juga datang ke Indonesia. Presiden Jokowi pun datang ke Malang. Enam orang langsung dinyatakan sebagai tersangka. Dari pihak panpel Arema FC, PT Liga Indonesia Baru sebagai operator Liga 1, dan polisi. Saat itu seolah-olah akan ada penyelesaian hukum yang serius.
Hasilnya? Antiklimaks. Kata orang Surabaya, njeketek. Dirut PT LIB Akhmad Hadian Lukita bebas lebih dulu dari status tersangka. Kasusnya tak dibawa ke pengadilan. AKP Hasdarmawan, eks Danki I Brimob Polda Jatim divonis 1 tahun 6 bulan penjara. Sementara duo perwira Polres Malang dibebaskan dari semua dakwaan.
Setelah melewati proses persidangan selama 2 bulan, Kompol Wahyu Setyo Pranoto, mantan kabag Ops dan AKP Bambang Sidik Achmadi, kasat Samapta, dinyatakan tidak bersalah hilangnya 135 nyawa.
"Menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah sebagaimana dalam dakwaan pertama, kedua, dan ketiga Jaksa Penuntut Umum (JPU)," demikian bunyi amar putusan yang dibacakan ketua Majelis Hakim Abu Achmad Sidqi Amsya.
Putusan majelis hakim itupun diiringi isak tangis keluarga korban yang hadir. Mereka tidak habis pikir dengan vonis bebas tersebut. Seakan nyawa keluarganya tidak berharga.
“Tempo hari kami sudah mendengar vonis ringan. Sekarang lagi-lagi harus kecewa. Kayak rasa keadilan kami kembali terkoyak,” ungkap Isatus Saadah, kakak korban Wildan Pratama, yang meninggal dalam tragedi Kanjuruhan.
Isa dan keluarga korban lainnya menegaskan mereka tidak hanya berhenti untuk mencari keadilan. Akan ada upaya hukum lain.
Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan, hasil sidang Tragedi Kanjuruhan merupakan preseden buruk penegakan hukum dan HAM di Indonesia. “Dampak yang dihasilkan sangat luar biasa, tidak sebanding dengan hukuman yang diberikan,” kata Daniel Siagian, koordinator LBH Pos Malang.
Senada dengan Koalisi Masyarakat Sipil, Sekjen Komisi untuk Orang Hilang dan Korban tindak Kekerasan (Kontras) Andy Irfan beranggapan, yang menjadi pertimbangan hakim untuk memberikan vonis sangat dangkal. Hakim dan Jaksa juga dinilai tidak serius dalam mengusut tuntas tragedi 1 Oktober 2022 lalu itu.
“Proses persidangan Kanjuruhan berakhir. Dan menjadi alarm untuk penegakan hukum di Indonesia. Ratusan orang mati, ratusan orang luka berat dan mengalami traumatik. Tapi pertanggungjawaban hukum tidak setimpal dengan itu,” katanya.
“Banyak fakta di persidangan yang bisa diperdalam oleh hakim. Tapi itu tidak dilakukan. Banyak keterangan yang patut diduga sebagai keterangan palsu. Namun juga tidak dikonfrontasi oleh jaksa maupun hakim,” imbuh Andy.