Dr. Hidayat mengajak kaum muslim Indonesia tidak terpengaruh paham sekulerisme, Islamofobia, dan juga Indonesia-fobia. Paham sekulerisme menganggap bahwa keberadaan Islam di Indonesia dianggap sebagai biang masalah dan tidak ada jasanya bagi bangsa Indonesia.
Sebaliknya, Indonesia-fobia menganggap Indonesia sebagai negara kafir yang tidak ada kaitannya dengan Islam dan para ulama.
Itulah pentingnya memahami dan mengingat peristiwa Mosi Integral Natsir pada 3 April 1950. Pemerintah RI pun telah mengakui jasa besar Mohammad Natsir untuk bangsa Indonesia.
Pada 2008, Mohammad Natsir, pendiri dan Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) yang pertama, mendapat penghargaan sebagai Pahlawan Nasional. Salah satu jasa besarnya adalah mengembalikan NKRI.
BACA JUGA: BPIP Ajak Peserta Sarasehan di Yogyakarta Memaknai Kemerdekaan
Peringatan Hari NKRI 3 April yang diserukan oleh pengurus DDII Jawa Timur, pada 2 April 2023, di Masjid Al Hilal Surabaya. -Haikal Ismail-
Perjuangan Mohammad Natsir dalam menyelamatkan NKRI memang sangat fenomenal. Natsir bukan hanya merumuskan gagasannya dengan cerdas.
Tetapi juga berhasil meyakinkan para tokoh Indonesia ketika itu yang berasal dari seluruh faksi dan aliran ideologis. Natsir memerlukan waktu dua setengah bulan untuk melakukan lobi.
Keberhasilan Mohammad Natsir dalam menggolkan Mosi Integral itu menunjukkan kepiawaiannya dalam berpolitik. Ia memiliki integritas, ilmu, kemampuan komunikasi, dan juga lobi.
Dan tentu saja, ia telah diberikan hikmah oleh Allah, sehingga bisa mengambil langkah yang tepat untuk menyelamatkan NKRI. Kepada Majalah Tempo (edisi 2 Desember 1989), Natsir menceritakan kisah perjuangan Mosi Integral tersebut:
BACA JUGA: Prabowo Tinjau IKN untuk Persiapan Upacara Hari Kemerdekaan
”Setelah tidak menjabat Menpen, saya aktif di Masyumi. Waktu itu saya di parlemen sebagai ketua fraksi Masyumi. Itu sudah ada KMB yang mengakui 15 negara bagian. Salah satu dari negara bagian yang diakui adalah negara Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta.
Mulanya saya diminta oleh Bung Hatta pergi ke Yogya menjadi perdana menteri. Saya tidak mau. Biarlah orang Yogya saja, kata saya. Saya sudah terikat di Jakarta, di Partai Masyumi. Masyumi sebagai alat perjuangan, saya anggap lebih penting daripada suatu negara bagian.
Meskipun Yogya menjadi negara bagian, sesudah KMB, kita bertekad mengembalikan RI seperti semula. Saya bicara dengan fraksi-fraksi. Dengan Kasimo dari Partai Katolik, dengan Tambunan dari Partai Kristen, dengan PKI, dan sebagainya. Dari situ saya mendapat kesimpulan: mereka itu, negara-negara bagian itu, semuanya mau membubarkan diri untuk bersatu dengan Yogya, asal jangan disuruh bubar sendiri.
BACA JUGA: Hanya Anies yang Hadiri Undangan Dewan Pers: Kami Datang Sebagai Komitmen Kemerdekaan Pers
Dua bulan setengah saya melakukan lobby. Tidak mudah, lebih-lebih dengan negara-negara bagian di luar Jawa. Umpamanya negara bagian di Sumatra dan Madura. Setelah selesai semua, lantas saya adakan “mosi integral” yang kabur-kabur. Ha-ha-ha… kabur, sebab kita menghadapi Belanda. Jangan sampai nanti Belanda bikin kacau lagi. Belanda tidak boleh tahu ke mana perginya rencana itu.
Sesudah itu saya perlu datang ke Yogya. Tapi Yogya tidak mau membubarkan diri. Lantas saya katakan: Kita punya program menyatukan kembali semuanya, jadi kita bayar ini dengan sama-sama membubarkan diri. Walaupun beberapa pemimpin sudah setuju, masyarakatnya belum mau, karena harga dirinya tersinggung.