IBARATNYA, bukan hanya presiden yang dibatalkan pelantikannya. Tapi, MPR –lembaga tertinggi yang memilih presiden itu– juga dibubarkan.
Itulah yang terjadi di UNS (Universitas Negeri Sebelas Maret), Solo. Undangan pelantikan rektor baru, yakni Prof Sajidan, sudah menyebar. Hari H pelantikan rektor baru itu 11 April ini. Tiba-tiba muncul surat dalam bentuk permen (peraturan menteri) dari Menteri Dikbudristek Nadiem Makarim. Intinya, pelantikan itu dibatalkan.
Caranya, membekukan majelis wali amanat (MWA), lembaga tertinggi di kampus yang mempunyai wewenang melantik rektor. Jadi, tak ada pelantikan. Pemilihan rektor pun bakal diulang.
MWA itu seperti MPR/DPR yang dulu. Tugasnya tak hanya memilih dan melantik rektor. Tapi, juga bertugas mengesahkan rencana kerja universitas. Mengawasi keuangan segala.
Bisa dibilang, keputusan mendikbudristek itu berani sekali. Kalau dianalisis, katakanlah istana tak setuju terpilihnya Prof Sajidan, itu juga masih meragukan. Sebab, ketua MWA adalah Marsekal (purn) Hadi Tjahjanto, mantan panglima TNI. Terpilih sebagai ketua MWA saat Hadi masih memegang tongkat panglima.
Hadi juga dikenal sangat dekat dengan Presiden Jokowi. Keduanya akrab ketika sama-sama bertugas di Solo. Jokowi sebagai wali kota, Hadi kala itu komandan Lanud Adi Soemarmo, Solo. Sampai sekarang pun mereka dekat. Buktinya, Hadi yang sudah pensiun dari militer tetap mendapat jabatan sebagai menteri agraria dan tata ruang.
Setelah MWA UNS yang dipimpin Hadi dibekukan, kini semua tugasnya diambil alih kementerian yang dipimpin Nadiem itu.
MWA melawan! Wakil Ketua MWA Prof Hasan Fauzi menyatakan bahwa rektor terpilih, Prof Sajidan, akan tetap dilantik. Sesuai undangan. Sebab, untuk kampus yang berbentuk badan hukum PTN BH (Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum), pelantikan rektornya cukup dilakukan MWA. Bukan lagi oleh menteri.
Kalau pelantikan itu jalan, kampus yang terletak di kampung halaman Presiden Jokowi itu akan dikendalikan dua nakhoda. Satunya dari kementerian.
Apa salah MWA UNS? Apa dosanya sehingga mereka mencatat sejarah, sebagai MWA pertama yang dibekukan. Dirjen Pendidikan Tinggi dan Ristek Nizam menyebutkan, beberapa aturan MWA tidak sesuai dengan perundang-undangan. ”Temuan inspektorat jenderal,” kata Nizam kepada media, menjelaskan alasan pengambilalihan kendali MWA.
Prof Hasan tetap heran. Sebab, pemilihan rektor berjalan sesuai dengan aturan. Semua pemegang suara hadir. Termasuk inspektur jenderal Kemendibudristek yang mewakili kementerian sebagai pemegang 35 persen suara. Itu berarti 9 dari 25 suara.
Hasilnya, Prof Sajidan meraih 12 suara, Prof Hartono 11 suara, dan Prof I Gusti Ayu Ketut Rachmi dapat 2 suara. Kabarnya, suara kementerian diberikan untuk Hartono.
Bila suara kementerian benar-benar untuk Hartono, itu juga menunjukkan bahwa calon yang dijagokan pemerintah bisa kalah. Apakah karena hal tersebut?
Saya juga sempat mencari kabarnya di kalangan UNS. Menelepon beberapa teman di kampus yang terletak di Kentingan, Solo, itu. Hasilnya, banyak juga yang bingung. Muncul kabar ada kecurangan saat pemilihan rektor. Juga, sempat terbetik isu radikalisme. Juga, muncul isu calon terpilih kurang disukai. Sebab, calon unggulan Jakarta kalah.
Namun, semua isu itu seperti terbantahkan karena pihak Kemendikbudristek, lewat Dirjen Nizam, seperti dikutip Kompas, menyatakan: karena masalah cacat hukum.