Pendekatan di lapangan juga berbeda. Di Aceh dulu, pemberontak dilayani dengan bertempur. Bahkan, setelah DOM, dalam pemulihan keamanan, sempat muncul kabar, TNI mengerahkan tank Scorpion buatan Inggris.
Sementara itu, di Papua, karena dilabeli KKB, selama ini pendekatannya pun mengedepankan hukum. Operasi di barisan depan juga melibatkan unsur kepolisian.
Apakah pendekatan yang lebih soft itu karena jaringan internasional kelompok separatis Papua lebih kuat?
Di Majelis Sidang Umum PBB, misalnya, beberapa kali negara seperti Vanuatu (negera berpenduduk 270 ribu jiwa di Pasifik) mendukung separatis Papua. Mereka mengkritik Indonesia.
Vanuatu dan Kepulauan Salomon (juga negara mini di Pasifik) pun mengangkat isu HAM di PBB. Semua serangan diplomatik negeri kecil itu selalu dijawab tangkas oleh diplomat Indonesia. Sebab, Papua wilayah Indonesia.
Manuver dan propaganda jaringan internasional pemberontakan Papua itu lebih besar daripada kelompok separatis Aceh. Kecanggihan teknologi komunikasi saat ini memungkinkan OPM melakukan propaganda.
Pemerintah Indonesia tak perlu takut menghadapi kampanye atau propaganda OPM itu. Sebab, secara historis dan faktanya, Papua bagian integral NKRI. Dunia internasional dan semua negara besar mengakui kedaulatan Indonesia. Hanya segelintir negara mini di Pasifik seperti Vanuatu dan Kepulauan Salomon yang bersuara pro-OPM karena solidaritas Malenesia.
Namun, ada komentar menarik yang datang dari Kapuspen TNI Laksamana Muda Julius Widjojono terkait pendekatan soft di Papua selama ini. Kepada media, pati bintang dua itu mengungkapkan, kelompok separatis teroris di Papua itu sering memakai ibu-ibu dan anak-anak sebagai tameng. Selain melakukan penegakan hukum, aparat keamanan melakukan upaya memisahkan kelompok bersenjata itu dengan ibu-ibu dan anak-anak.
Mencermati komentar kapuspen tersebut, cukup riskan juga bila langsung melakukan operasi tempur seperti di Aceh. Taktik OPM menggunakan perisai ibu dan anak akan membawa risiko korban warga sipil.
Situasi Papua tampaknya sangat kompleks. Kita tunggu saja, bagaimana hasil dari strategi baru TNI: Siaga tempur. (*)