DULU, setiap kali Lebaran kelompok Warung Kopi Prambors—Dono, Kasino, Indro—selalu meluncurkan film baru yang sengaja diputar untuk konsumsi Lebaran. Hampir pasti film-film Warkop menjadi box office, apapun kualitas film itu. Tahun ini, bersamaan dengan momen Lebaran, film baru yang di-launching adalah Buya Hamka dengan bintang utama Vino G. Bastian.
Perubahan ini menjadi indikasi perubahan pola spiritualitas masyarakat perkotaan di Indonesia dalam 10 tahun terakhir. Kalau dulu Lebaran identik dengan hiburan yang sekadar hura-hura, sekarang bergeser menjadi hiburan yang berdimensi religius.
Perubahan pola ini sangat terasa di kalangan kelas menengah kota. Ketika Ramadan memasuki 10 malam terakhir, masjid-masjid besar di pusat-pusat kota penuh sesak dengan jamaah yang melakukan iktikaf sejak lepas tengah malam sampai subuh. Bukan hanya generasi kolonoial yang memenuhi masjid, tapi generasi milenial pun antusias mengikuti iktikaf.
Pola konsumsi hiburan bioskop pun ikut berubah seiring dengan perubahan pola spiritualitas masyarakat perkotaan ini. Film Buya Hamka ini menjadi salah satu indikasi perubahan itu. Bukan sebuah kebetulan ternyata Vino G. Bastian kali memerankan karakter Buya Hamka, yang tentu saja sangat berbeda dengan karakter yang selama ini diperankannya. Sekadar pengingat saja, Vino merupakan reinkarnasi dari Trio Warkop ketika merilis ulang versi lawas dengan titel Warkop Reborn dan beberapa waktu yang lalu diputar saat Lebaran.
Buya Hamka (17 Februari 1908 – 24 Juli 1981) ulama fenomenal Indonesia yang membawa perubahan besar dalam pola beragama di Indonesia. Hamka menjadi household name buah bibir masyarakat, dan menjadi salah satu nama yang paling banyak dipakai oleh orang-orang Indonesia.
Tidak banyak yang tahu bahwa Hamka merupakan abreviasi dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Hamka adalah pen name, nama pena yang dipakai sebagai penulis karya-karya sastra ciptaannya. Lihatlah secara acak nama-nama sastrawan besar yang menjadi nama populer orang-orang Indonesia, yang muncul adalah Hamka, Iqbal, dan Rendra. Ketiganya menjadi nama yang sangat populer untuk bayi yang lahir di Indonesia.
Hamka menjadi sosok yang komplet. Ia ulama warisatul anbiya’ karena otoritas keilmuan Islamnya yang lengkap. Ia politikus yang memainkan high politics tanpa keinginan untuk memperoleh kekuasaan. Ia seorang sastrawan par excellent. Karya-karya Di Bawah Lindungan Kakbah dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck’ menjadi karya klasik yang dibaca sepanjang masa di kalangan muslim Asia Tenggara.
Buya Hamka ulama yang mempunyai pendirian teguh dan tidak pernah takut berhadapan dengan kekuasaan. Kalau sudah menyangkut akidah, Buya Hamka tidak pernah berkompromi. Hal itu menyebabkannya masuk penjara pada zaman Orde Baru Sukarno. Di zaman Orde Baru Soeharto sebagai ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia) Buya Hamka tegas memfatwakan hukum haram bagi muslim yang mengucapkan selamat Natal.
Buya Hamka juga seorang komposer andal. Bagi yang sudah cukup umur pasti mengenal lagu perjuangan ‘’Panggilan Jihad’ yang dikumandangkan di radio-radio pada 1980-an. Lagu itu mengajak umat Islam untuk melakukan jihad mempertahankan Islam dari serangan lawan.
Kalau hari ini Buya Hamka masih hidup maka lawan-lawan politiknya akan dengan mudah menuduhnya dengan tudingan intoleran dan radikal-radikul. Ketika masuk penjara pada 1964 tuduhan itu juga yang diarahkan kepada Buya Hamka.
Tapi, mereka yang mencermati karya-karya Buya Hamka akan tahu bahwa Buya Hamka bukan seorang radikal. Ketika berbicara mengenai akidah, hablun minallah, Buya Hamka non-kompromi. Ketika berbicara mengenai hubungan sosial kemanusiaan, hablun minannas, Buya Hamka ialah seorang humanis sejati.
Lawan-lawannya pun diam-diam mengagumi dan mencintainya. Bung Karno yang memenjarakan Buya Hamka berpesan agar ketika wafat dishalati oleh Buya Hamka. Dan ketika Bung Karno wafat Buya Hamka pun menyalatinya.
Pramoedya Ananta Toer sastrawan garda depan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang berafiliasi dengan PKI (Partai Komunis Indonesia) sangat tidak menyukai Hamka. Pram secara terbuka menuduh Hamka sebagai plagiator dan karya-karyanya tidak orisinal. Sebuah kisah menyebutkan bahwa ketika anak perempuan Pram akan menikah dengan seorang pria muslim ia memerintahkan anaknya untuk sowan kepada Buya Hamka bertanya mengenai agama Islam.
Karya master piece utama Buya Hamka adalah Tafsir Al-Azhar yang diselesaikannya ketika berada di penjara selama hampir 2,5 tahun. Tokoh-tokoh besar dunia menjadi semakin besar setelah berada di penjara. Nelson Mandela menjadi pahlawan Afrika Selatan yang menghancurkan apartheid setelah dipenjara selama 27 tahun. Sukarno, Hatta, Syahrir, dan para pendiri bangsa semua pernah masuk ke penjara kolonial. Mereka tidak patah tapi malah lebih tegar.
Tafsir Al-Azhar mengantarkan Hamka menjadi profesor kehormatan Universitas Al-Azhar Mesir. Orang yang membaca tafsir itu akan merasakan kecintaan Hamka kepada umat Islam. Pengetahuannya yang luas dan mendalam dituangkannya dalam bahasa sederhana yang indah.