Kapitalisme merupakan sebuah produk dari industrialisasi dan kemajuan teknologi. Paham ini berfokus pada pentingnya mengumpulkan sebanyak-banyaknya keuntungan dan kekayaan dalam suatu persaingan bebas. Dalam kehidupan manusia, kapitalisme sedikit banyak menimbulkan suatu kondisi yang secara filosofis disebut sebagai homo homini lupus. Artinya manusia bisa saling memangsa untuk mempertahankan keuntungan dan kekayaannya.
Perdagangan bebas merambah ke seluruh belahan dunia yang dipermudah dengan sistem globalisasi. Setiap negara dapat terlibat dalam pertukaran sumber daya alam, manusia dan teknologi dalam tatanan dunia yang nyaris tanpa batas. Perkembangan teknologi komunikasi menyebarkan informasi dalam hitungan kurang dari sedetik dan dapat diakses secara arbitrer.
Globalisasi dan perdagangan bebas memang tidak dapat dibendung, namun kapitalisme dan sifat-sifat tak elok yang menyertainya seharusnya dapat dicegah agar tidak merusak moralitas bangsa. Sayangnya, perihal ini malah memperburuk kondisi yang ada di negara ini, yaitu aktivitas korupsi. Roda ekonomi semakin timpang, yang hanya memperkaya si kaya dan membuat si miskin makin mengenaskan nasibnya.
Bukan itu saja, pelbagai cara kotor dilakukan dalam praktek kapitalisme ini. Bukan hanya pengusaha yang menjalankan strategi, pejabat dan pekerja negara tak luput dalam menghalalkan segala cara untuk menambah simpanannya. Korupsi yang semula berkisar dalam pemberian uang pelicin, merambah hingga tindakan pencucian uang. Mafia-mafia finansial berkeliaran, menempatkan uang-uang haram di berbagai lini kehidupan masyarakat agar perputarannya tak bisa dilacak dan kembali pada pelaku korupsi sebagai uang halal.
Menurut William.C.Gillmore dalam Dirty Money menyatakan teori: No money laundering without core crime (Tidak ada kejahatan pencucian uang tanpa adanya tindak pidana asal). Hal menunjukkan hubungan erat antara Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dengan tindak pidana asalnya.
Pengaturan tentang penindakan perkara pencucian uang secara khusus terdapat dalam Pasal 69 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa Tindak Pidana Pencucian Uang, tidaklah wajib membuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Hal ini membuka celah untuk melakukan money laundering di segala sektor seperti kesehatan dan pendidikan.
Penempatan uang haram ini tak hanya berlaku di dunia usaha, tetapi merambah hingga ke pendirian rumah sakit-rumah sakit, unit layanan kesehatan, bahkan hingga ke dunia pendidikan. Para pemilik modal kotor mengajak kolega-koleganya untuk mendirikan instansi-instansi tersebut dan kemudian ikut menentukan arah serta visi-misi kesehatan dan pendidikan. Instansi-instansi yang seharusnya condong pada kebutuhan masyarakat marjinal, lebur dalam perlombaan kapitalis untuk mencapai keuntungan setinggi-tingginya.
Efek Karambol
Apa yang terjadi kemudian? Terjadilah multiple playing efek atau efek karambol yang saling berlomba menghantam untuk masuk kelubang menuai poin alias laba. Akibatnya, biaya layanan kesehatan melonjak tinggi, atau bila layanan tersebut diambil alih oleh pemerintah dengan asuransi negara, kualitas layanan tidak maksimal.
Karena biaya yang diberikan lebih rendah daripada layanan yang seharusnya diberikan. Munculnya tindak korupsi terselubung terjadi karena kapitalisasi rumah sakit. Biaya layanan dan pengobatan naik lebih tinggi daripada seharusnya, dengan berbagai alasan.
Belum lagi terdapat upaya rumah sakit untuk mendapatkan keuntungan dengan mengharuskan pasien menyetujui tindakan dan pengobatan berbiaya mahal tertentu, meskipun hal tersebut tidak diperlukan. Sementara itu, pengelola penyelenggara asuransi ikut pula terlibat dalam aktivitas ini demi mendapatkan keuntungan pribadi. Lagi-lagi, masyarakat dan operator/tenaga kesehatan lah yang terpaksa menelan pil pahit ketidakadilan ini.
Efek karambol pun juga terjadi di bidang pendidikan. Akibatnya, kualitas pendidikan tidak lagi menjadi target utama meskipun kurikulum yang ditampilkan mencakupi semua capaian yang mentereng. Kurikulum dan isinya yang detail dan rumit kemudian hanya menjadi formalitas untuk mendapatkan nilai akreditasi.
Utamanya, modal kotor sang kapitalis dapat berputar dalam instansi pendidikan dan kembali ke dalam simpanannya dalam keadaan “bersih”. Bayangkan, instansi-instansi pendidikan yang seyogyanya mencetak tunas-tunas baru penerus bangsa ternyata didirikan dan dikelola dengan menggunakan uang haram.
Regulator seolah permisif dan memberikan banyak kemudahan untuk para kapitalis ini. Peraturan-peraturan tampak dibuat untuk mempermudah sepak terjang mereka, dan apa yang sudah diterapkan untuk menjaga kualitas sengaja ditiadakan. Salah satu contoh yang cukup menonjol adalah ketika RUU Omnibus terlihat mengebiri kewenangan organisasi profesi untuk memberikan rekomendasi bagi para lulusan sarjana kedokteran dalam mendapatkan Surat Tanda Registrasi (STR) maupun Surat Izin Praktik (SIP). Hal ini tentu akan mempermudah para lulusan kurang berkualitas dari institusi milik kapitalis dalam mencari pekerjaan.