HARIAN DISWAY - Soe Tjen Marching telah melalui berbagai hal terkait polemik negerinya. Kelak itu yang membawanya menemukan fakta-fakta baru tentang Gerakan 1 Oktober 1965. Namun, hubungan antara Soe Tjen dan ayahnya justru semakin merenggang.
Mei 1998. Jelang mundurnya Soeharto, Jakarta mencekam. Begitu pula dengan beberapa daerah lain di Indonesia. Termasuk Surabaya. Tempat kediaman Soe Tjen beserta keluarganya.
Saat itu Soe Tjen geram dengan perlakuan masyarakat terhadap warga keturunan Tionghoa. Kabar pelecehan seksual, pemerkosaan bahkan pembunuhan dia terima hampir setiap hari. Saat itu Soe Tjen telah memulai karier sebagai aktivis. Awalnya berkecimpung sebagai feminis, karena karya-karya tulis awalnya bertema feminisme.
Soe Tjen Marching dalam diskusi bukunya tentang eksil, tema yang cukup banyak jadi bahan tulisannya terkait korban 1965. -Sahirol Layeli-
Dia sempat ingin menulis tentang perempuan-perempuan, khususnya warga Tionghoa korban 1998. "Tapi mama saya dengan keras menolak. Jangan menulis macam-macam dalam keadaan seperti ini. Ingat, kita minoritas. Lebih baik menghindar dari masalah. Begitu katanya," ungkapnya.
Soe Tjen memang tidak suka dengan pemerintahan Orde Baru. Saat bersekolah di SMAK St Louis, Surabaya, dia kerap bolos sekolah. Kabur, karena tak suka dengan materi-materi propaganda.
Saat berkuliah di UK Petra, Jurusan Sastra Inggris, dia mulai menyuarakan kaum-kaum tertindas. Utamanya perempuan. Dia berhasil mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Cantenbury University di New Zealand. "Beasiswanya uang kuliah saja. Jadi saat awal di sana, saya nyambi kerja. Kerja apa pun untuk memenuhi kebutuhan," ungkapnya. Ia juga mendapatkan beasiswa di Monash University, Australia. "Yang ini easiswanya penuh," tambahnya.
Sayang saat itu hubungan dengan papanya, Oei Lian Bing, memburuk. Meski papanya membantu separuh biaya hidup untuk kuliah, Soe Tjen tetap enggan jika berinteraksi lebih jauh. Sebab dia termakan propaganda Orde Baru. "Di sisi lain, semakin sepuh, sifat temperamental mendiang papa saya semakin buruk. Lebih sering marah. Bahkan masuk dalam urusan pribadi saya," ungkapnya.
Foto keluarga Oei Lian Bing dengan Soe Tjen Marching yang paling kecil, dipangku oleh bibinya. -Soe Tjen Marching-
Saat itu, tiba-tiba saja papanya menjadi rasis. "Sebenarnya beliau enggan ketika tahu saya kuliah di Australia. Takutnya, di sana saya dapat pacar orang non-Tionghoa," tambah aktivis kelahiran Surabaya 1971 itu. Bing mengharuskan Soe Tjen menikah dengan sesama Tionghoa. Bing khawatir, bila di Australia anak bungsunya itu mendapat pacar bule. "Ada apa dengan papa? Kok jadi begitu? Padahal dulu kakak saya pernah pacaran dengan orang non-Tionghoa, ia oke-oke saja," ujarnya.
Itu membuat hubungannya dengan Bing semakin berjarak. Bahkan Soe Tjen masih ingat momen ketika dia pulang ke Indonesia. Di bandara, mamanya sih langsung memeluk puterinya. Tapi saat papanya hendak melakukan hal yang sama, Soe Tjen menampik. Bahkan menyingkirkan tangan papanya itu. "Saya tidak mau. Waktu itu saya benar-benar membencinya," ujar dosen SOAS University, London, Inggris itu.
Pengaruh Orde Baru begitu kuat. Film-film tentang Gerakan 1 Oktober 1965 mengarahkan asumsi masyarakat yang membuatnya tersudut.
Saat kembali ke Australia untuk kuliah, keingintahuan Soe Tjen semakin tinggi. Maka di Monash, dia berharap mendapat sumber-sumber kredibel tentang peristiwa 1965. Dia pun mendapat apa yang diinginkannya.
Buku-buku di Perpustakaan Monash University sangat lengkap. Terutama tentang tinjauan Asia Tenggara, termasuk buku-buku tentang berbagai peristiwa di Indonesia. Buku yang mengupas dengan sangat dalam peristiwa '65, jumlahnya puluhan. Sangat berimbang. Berdasarkan data yang jelas dan tentu jauh dari propaganda Orde Baru.
Pengalaman membaca itu membuat mata Soe Tjen terbuka lebar. Dia mulai menemukan fakta-fakta, lantas menyadari bahwa sikapnya menjauhi papanya itu salah. Sebab, Bing adalah satu dari jutaan korban tertuduh. Fitnah belaka yang membuat papanya dipenjara. "Dari situ penyesalan saya lebih dalam lagi. Saya mengasihani papa. Apa yang mendasari sifatnya itu akibat masa lalu yang kelam," terangnya.
Dia menganggap bahwa Orde Baru dan propaganda yang dilakukan rezim, sampai menyentuh hubungannya dengan keluarga. Pada 1998 itu, Soe Tjen mendengar Bing sakit. Ia segera kembali Indonesia untuk merawat Bing. Mendampinginya sepanjang hari. "Saya lebih sering menggenggam tangannya," ungkapnya.
Sebenarnya, Soe Tjen adalah anak kesayangan Bing. Namun, sepanjang hidup dia enggan diperlakukan begitu. Maka ketika Bing sakit, momen itu seperti waktu yang tepat bagi Soe Tjen untuk meminta maaf.