Regulasi EUDR, Standar Ganda Eropa yang Tak Pernah Sirna

Rabu 24-05-2023,17:00 WIB
Reporter : Tofan Mahdi*

Dalam lima tahun terakhir, kawasan itu rata-rata membeli 3,5 juta ton minyak sawit dengan nilai transaksi EUR 2,2 miliar per tahun. Bagi Indonesia, pasar minyak sawit di Uni Eropa adalah menarik dan strategis.

Aturan EUDR tentu bukan yang pertama yang menekan perdagangan minyak sawit. Sebelumnya, berbagai aturan yang diskriminatif juga diberlakukan Uni Eropa. Salah satunya adalah aturan mengenai EU Renewable Directive (RED II), yakni pada 2030 biodiesel yang dihasilkan di Uni Eropa tidak boleh menggunakan bahan baku yang tidak memenuhi kriteria risiko rendah ILUC (indirect land use change). Minyak sawit sendiri masuk kategori risiko tinggi ILUC.

Dengan berbagai hambatan perdagangan tersebut, pasar ekspor minyak sawit Indonesia ke Uni Eropa akan terus tergerus. Komisi Eropa dalam Agricultural Outlook 2022–2032 menyebutkan, dalam kurun sepuluh tahun, pangsa minyak sawit untuk industri biodiesel dan pangan akan turun signifikan. Diprediksi, pangsa minyak sawit hanya akan tinggal 9 persen pada 2032 dari pangsa rata-rata 23 persen tahun 2019/2021.

 

Sikap Indonesia

Aturan EUDR jelas akan memengaruhi kinerja ekspor minyak sawit Indonesia ke Uni Eropa. Diskriminasi dagang dan kampanye negatif terhadap minyak sawit terus dilakukan Uni Eropa. Benua Biru itu makin berani menantang, sementara kita belum melakukan pembalasan yang signfikan. Retaliasi perdagangan seharusnya dilakukan, tetapi sepertinya tidak menjadi pilihan.

Pemerintah Indonesia, bersama pemerintah Malaysia, akan melakukan misi bersama ke Brussel, Belgia, akhir Mei ini. Misi yang diemban adalah mengomunikasikan dan mencegah konsekuensi yang tidak diinginkan terhadap industri sawit atas berbagai diskriminasi dagang yang dilakukan Eropa. Namun, pemerintah menegaskan, tidak ada sedikit pun rencana pemerintah untuk memboikot ekspor minyak sawit ke Eropa.

Misi bersama tentu akan memberikan pemahaman yang lebih baik bagi Uni Eropa terhadap gambaran besar dan komprehensif industri minyak sawit Indonesia dan Malaysia. Dalam konteks Indonesia, misalnya, 42 persen perkebunan sawit adalah milik rakyat. Jika ekspor terganggu, harga buah sawit masyarakat juga akan tertekan. Itu bisa membawa risiko sosial. Semoga Uni Eropa melunak setelah pertemuan dengan delegasi Indonesia dan Malaysia dalam misi bersama ini.

Hal lain, dengan asumsi EUDR tetap berjalan seperti rencana, ada dua hal yang bisa dilakukan Indonesia. Pertama, makin agresif dalam mencari pasar baru minyak sawit di luar Uni Eropa. Kedua, memperbaiki tata kelola perkebunan kelapa sawit Indonesia sehingga makin berkelanjutan dan diterima dunia. (*)

 

*) Tofan Mahdi, mahasiswa semester akhir Program Studi Magister Hubungan Internasional (MHI), Universitas Paramadina Jakarta

 

Kategori :