Belajar dari Rwanda, Ngerinya Kejahatan karena Kebencian

Rabu 31-05-2023,13:26 WIB
Oleh: Tofan Mahdi*

SELAMA 100 hari sejak 17 April hingga 25 Juli, 29 tahun lalu, 800 ribu warga Rwanda beretnis Tutsi tewas dibantai saudara sebangsa mereka sendiri yang beretnis Hutu. 

Pembantaian etnis itu kembali menjadi catatan kelam dalam sejarah peradaban manusia setelah kisah konflik berdarah dan kejahatan karena kebencian (crime by hate) berkali-kali terjadi dalam sejarah peradaban modern umat manusia. 

Apa yang bisa kita pelajari dari tragedi Rwanda? Bagaimana sebuah kejahatan karena kebencian bisa sangat menghancurkan? Bagaimana mencegah agar hal serupa tidak pernah terulang?

 

Rwanda yang Terbelah

Ada dua film layar lebar yang menggambarkan dengan sangat baik tentang apa yang terjadi di Rwanda pada 1994 tersebut. Yaitu, Hotel Rwanda dan Sometimes in April

Hotel Rwanda melihat konflik tersebut dari perspektif seorang manajer hotel berjaringan internasional dan bagaimana ia dengan inisiatifnya sendiri menyelamatkan ratusan etnis Tutsi. Keberanian manajer hotel itu menjadi kisah yang epik dan Hotel des Mille Collines sekarang menjadi salah satu jujukan utama wisatawan yang berkunjung ke Kigali, ibu kota Rwanda.

Film Sometimes in April menggambarkan tragedi Rwanda dari perspektif seorang tentara Rwanda beretnis Hutu, Augustin Muganza, yang memiliki istri seorang perawat beretnis Tutsi. Bagaimana perjuangan Augustin menyelematkan keluarganya dari ekstremis Hutu menjadi alur dalam Sometimes in April.

Meski perang saudara dan konflik etnis Hutu dan Tutsi telah terjadi sejak masa kolonialisme satu abad sebelumnya, Tragedi Rwanda 1994 adalah yang terburuk dan paling mengerikan. Rezim Nazi Jerman memerlukan waktu 6 tahun untuk membantai 5 juta warga Yahudi, komunis, tahanan perang, dan lawan-lawan politik mereka. 

Kelompok ekstremis Hutu ”hanya” memerlukan waktu 100 hari untuk melenyapkan kelompok minoritas Tutsi dan warga Hutu yang moderat. Skala pembantaian Rwanda 1994 sangat cepat dan sebagian besar eksekusi dilakukan dengan sangat sadis menggunakan senjata tajam.

Tragedi Rwanda 1994 dipicu persoalan politik dalam pemerintahan koalisi yang tidak berjalan dengan mulus. Konflik berdarah dipicu tewasnya presiden Rwanda yang beretnis Hutu, Juvenal Habyarimana, karena pesawat yang ditumpangi ditembak jatuh. 

Kelompok garis keras Hutu dan tentara serta polisi pemerintah menuding kelompok gerilyawan Tutsi yang berada di balik penembakan pesawat Presiden Habyarimana. Perburuan dan pembantaian etnis Tutsi dan Hutu yang moderat pun dimulai beberapa hari setelah tewasnya Habyarimana.

Tragedi itu tak dapat dicegah karena tidak ada satu negara pun, termasuk pasukan perdamaian PBB, yang segera masuk ke Rwanda untuk mencegah pembantaian agar tidak meluas.

 Tragedi tersebut berakhir setelah pasukan perlawanan yang didominasi etnis Tutsi the Rwadan Patriotic Front (RPF) berhasil menguasai Kigali dan sukses menggulingkan pemerintahan yang dikuasai etnis Hutu. Pemerintah baru pascagenosida mengumumkan kebijakan yang disebut dengan ”persatuan dan rekonsiliasi”.

 

Kategori :