BALI, HARIAN DISWAY - Bekerjalah dengan alam. Bukan melawannya. Itulah kalimat Bill Mollison yang kerap dikaitkan dengan konsep pertanian permakultur. Yakni ilmu yang mempelajari kolaborasi antara desain dan teknik ekologis, yang dikembangkan melalui sistem pertanian swadaya berdasarkan ekosistem alam.
Sistem pertanian permakultur juga membahas tentang praktik penanaman tumbuhan yang beragam di lingkungan lahan masyarakat. Seperti halaman atau kebun di rumah, atau areal-areal lahan yang dimiliki. Sehingga warga dapat memperoleh hasil pangan yang bervariasi dan berguna untuk ketahanan pangan.
Sebelum Bill Mollison dan ilmu permakultur ditemukan, masyarakat Jawa dan Bali telah mengenal konsep itu. Nenek moyang Nusantara menanam berbagai jenis tumbuhan demi ketahanan pangan dan ekonomi.
Lantas, konsep itu dihapus oleh aturan tanam paksa pemerintah kolonial. Selama 200 tahun. Sehingga setelah merdeka pun, hal itu telah menjadi budaya, dan petani cenderung menanam satu jenis pangan saja.
I Made Murta, sebagai koordinator petani demplot permakultur Blahbatuh, dampingan Alit Indonesia.-Julian Romadhon-
Berawal dari keinginan untuk membawa kembali konsep permakultur ke tengah-tengah masyarakat, Alit Indonesia, lembaga yang bergerak di bidang anak, pemberdayaan masyarakat dan pelestarian budaya, melakukan penyuluhan ke setiap warga dampingan. Contohnya di Bali. Mereka telah melakukannya di kawasan Tampaksiring dan Gianyar.
"Di Gianyar, kami mengajak para petani untuk membuat demplot permakultur. Sudah berjalan dan luas lahan kami 46 are," ungkap Putu Marsellia Putri, staf Alit Bali. Demplot itu tak jauh dari lokasi kantor Alit di Bulangan, Kecamatan Blahbatuh. Demplot yang terbagi menjadi 25 petak yang masing-masing ditanami berbagai jenis tumbuhan.
"Terong, bayam, jahe, temulawak, dan sebagainya. Juga tanaman untuk keperluan sesaji sembayang, seperti bunga pacah dan ratna," ungkap I Made Murta, koordinator petani demplot permakultur dampingan Alit Bali.
Hasilnya, untuk ketahanan pangan keluarga, serta untuk kegiatan cooking class anak-anak binaan Alit Indonesia Bali. "Misalnya, anak-anak kami ajak memasak omelete, menggunakan tomat dan seledri. Kemudian nasi kuning, memakai bahan pandan, kunyit dan sereh. Hasil panen dari kebun kami," ujar Dewa Ayu Dyah Laksmi, salah satu staff Alit.
Wayan Tiami sedang berproses menggemburkan tanah di petak demplot permakultur. -Julian Romadhon-
Pada Selasa, 30 Mei, terdapat tiga petani yang kebetulan sedang berada di lahan permakultur itu. Selain Made, terdapat Iluh dan Wayan Tiani. Ketiganya sedang melakukan penyiraman pada tanaman-tanaman mereka. "Kalau hasilnya melimpah, dan jika sudah digunakan untuk kepentingan anak-anak Alit dan keluarga, lalu ada sisanya, bisa kami jual ke pasar," pungkas Made.
Dengan sistem permakultur yang diterapkan di setiap lahan di sebuah desa, selain dapat meningkatkan ekonomi warga, juga bisa menjadikan desa mereka sebagai desa agrowisata. "Kami harap kegiatan ini bisa memancing ketertarikan yang lain. Harapan kami ke depan, memang ingin menjadikan desa mereka menjadi desa agrowisata. Sudah berjalan di Tampaksiring dan Belahbatuh," pungkas Putu. (Guruh Dimas Nugraha)