Pertama, mahasiswa perlu selalu membuka mata bahwa lingkungan sosial yang ada di sekitarnya adalah lingkungan yang multipluralis. Mahasiswa tentu tidak elok jika hanya mampu bergaul dengan kelompoknya sendiri dan bersikap resistan pada kelompok lain yang berbeda. Bersikap soliter, intoleran, dan tidak memedulikan perbedaan adalah sikap picik yang jauh dari pengamalan nilai-nilai Pancasila.
Kedua, mahasiswa perlu memahami bahwa menyapa dan hidup berdampingan dengan kelompok yang berbeda adalah sebuah keniscayaan yang tidak mungkin dihindari. Di tengah lingkungan sosial yang heterogen, mahasiswa harus memiliki kesadaran, kesediaan, dan kemampuan untuk mengembangkan apa yang disebut dengan sikap multikulturalisme.
Seperti dikatakan Nasikun (1991) dalam bukunya, Sistem Sosial Indonesia, ada dua faktor yang menyebabkan konflik di dalam masyarakat yang pluralistis tidak meletup menjadi konflik yang terbuka. Yakni, cross-cutting affiliations dan cross-cutting loyalities. Menurut Nasikun, suatu masyarakat senantiasa terintegrasi karena berbagai-bagai anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota dari berbagai kesatuan sosial (cross-cutting affiliations).
Mengapa? Oleh karena dengan demikian setiap konflik yang terjadi di antara kelompok sosial dengan kelompok sosial lain segera akan dinetralkan oleh adanya loyalitas ganda (cross-cutting loyalities) dari para anggota masyarakat terhadap berbagai-bagai kelompok sosial.
Konflik antarsuku bangsa, misalnya, akan segera direduksi oleh bertemunya loyalitas agama atau daerah. Perselisihan antara golongan yang berbeda etnis, dalam banyak kasus bisa diredam atau bahkan dihilangkan bila pihak-pihak yang berselisih memiliki persamaan dalam agama yang dianut atau berasal dari wilayah yang sama.
Di Indonesia, sejarah telah banyak membuktikan bahwa karena struktur dan loyalitas masyarakat Indonesia yang bersifat silang-menyilang telah menjadi landasan mengapa masyarakat Indonesia tetap relatif stabil dari masa ke masa, kendati beberapa kali kita sering diuji dengan berbagai kerusuhan dan cobaan. Tanpa adanya keanggotaan dan loyalitas yang bersifat silang-menyilang, niscaya adanya deferensiasi sosial akan menjadi benih yang cepat atau lambat bisa mengganggu integrasi nasional yang telah dengan susah payah kita bina selama ini.
Keserasian sosial, kehidupan harmoni, dan kerukunan pada dasarnya adalah sebuah mosaik yang disusun dari perca-perca perbedaan. Oleh sebab itu, seorang pembelajar yang sejak dini dididik untuk menyadari perbedaan niscaya yang terjadi bukanlah konflik-konflik yang manifes atau pertengkaran, tetapi justru yang akan lahir adalah rasa toleransi dan kesadaran untuk menerima bahwa dalam kehidupan nyata selalu ada wilayah yang mesti dibagi dengan pihak lain yang berbeda. (*)
*) Soetojo, Direktur Sekolah Ilmu Kesehatan dan Ilmu Alam Universitas Airlangga
**) Bagong Suyanto, Dekan FISIP Universitas Airlangga