Setelah dari Pelda Sigit Setiono di Magetan, tim 1 menuju ke Ngawi. Singgah di Sanggar Seni Bodromoyo, yang namanya cukup kondang. Di situ kami bertemu dengan Sertu Ali Mustofa, Babinsa pendorong anak-anak muda untuk berkesenian.
Setelah melakukan penjurian di Panekan dan Maospati, Magetan, kami menuju Sanggar Bodromoyo di daerah Kedungputri, Ngawi. Kapten Sunaryo, Pasiter Magetan, kebetulan searah dengan kami. Beliau ingin pulang.
Sampai di sebuah perempatan, Pak Sunaryo melambaikan tangan. Ia belok ke kiri. Sedangkan kami, sesuai petunjuk Google Maps yang katanya serbatahu, terus lurus. Jaraknya, menurut petunjuk google maps itu tak terlalu jauh dari perempatan. Kurang lebih sekitar 4-5 km.
Di dalam mobil, saya, Pak Boy, dosen Probo, dan Azka sempat bergurau: jangan-jangan setelah sampai di sanggar, di sana ketemu Pak Naryo lagi. Keisengan yang cukup asyik mengisi waktu perjalanan. Tapi ternyata google maps menunjuk arah yang salah. Kami sampai di sebuah rumah bercat putih, kanan-kirinya sawah.
"Belok kiri. Belok kiri," kata suara dalam aplikasi itu. "Kiri? Ini kita mau nyemplung sawah?," tanya Azka. "Mungkin google maps menyuruh kita macul (mencangkul)," kata Pak Boy. "Sudah, turun saja. Pasti rumah itu adalah sanggarnya," kata saya.
Pelda Sigit Setiono, Dalang dari Desa Mbarat, Magetan, berfoto bersama perangkat desa dan tim juri 1.-Boy Slamet-
Dosen Probo menengahi. Sebagai akademisi, ia selalu menganalisa sesuatu dengan ilmiah. Menggunakan metode perbandingan. "Lihat foto bangunan sanggarnya. Sama ndak dengan rumah putih ini?," tanyanya.
Eh, iya. ndak sama. Kami pun putar balik. Me-restart smartphone milik Azka, lalu membuka lagi google maps. Barulah aplikasi itu menunjukkan arah yang benar. Hape milik Azka mereknya Fuji. Cuma bisa buat motret saja. Akhirnya, kami sepakat untuk menyingkirkan hape milik Azka itu. Gantian, menggunakan hape saya dan hape milik Pak Boy.
Sepanjang perjalanan, hape saya dan hape Pak Boy adu cepat. Suara petunjuk jalan yang keluar lebih dulu menandakan gawainya lebih canggih. Saya kalah. Hape Pak Boy memang lebih bertenaga. Petunjuknya berbunyi lebih dulu.
"Eh, hapeku merek Samsul, bos! Hapemu apa? Rilmi? Silmi? Hape apa itu mereknya Silmi!," ejeknya. Pukul 17.30, kami sampai di Sanggar Bodromoyo, Ngawi. Di situ Sertu Ali Mustofa bersama Babinsa lain menyambut kami sebagai tim juri. Dan yang lebih mengagetkan lagi, Kapten Sunaryo ada di situ.
Ketua Tim 1, Guruh Dimas bersiap menyantap menu sarapan hotel.-Boy Slamet-
"Lho, kok kita ketemu lagi? Arah njenengan memang kemari toh?," tanyanya. Kami mengangguk, lalu mengatakan bahwa kami sempat nyasar karena google maps. Tak disangka, guyonan kami betul-betul terjadi. Kami bertemu lagi dengan Kapten Sunaryo yang memang sedang lewat dan mampir ke sanggar itu.
Kami masuk ke dalam sanggar. Diterima oleh Sertu Ali, pembina sanggar itu, bersama para babinsa serta anggota sanggar. Kami menyaksikan, bagaimana anak-anak hingga remaja di Sanggar Bodromoyo mampu melestarikan seni tradisi. Mereka bisa mendalang, bermain gamelan. Bahkan mendulang banyak prestasi.
Di sela diskusi, hape saya berbunyi. Dirut Harian Disway, Tomy C Gutomo, mengirim pesan whatsapp: sudah makan? Selesai penjurian nanti ke rumah saya lagi, ya. Ayo bareng-bareng makan pecel Madiun. Saya balas: Siap 86. Kemudian Pak Dirut beberapa kali whatsapp ulang. Isinya tentang pecel Madiun juga.
Karena sedang berdiskusi, saya tak sempat balas. Mungkin beliau mengarahkan pesan singkatnya ke Pak Boy, yang saat itu sedang nganggur sambil mengelus-elus bonang. Entah apa yang dipikirkan.
Sertu Ali berperan dalam penguatan kecintaan anak-anak dan remaja terhadap seni tradisi. Ia tak henti-hentinya memotivasi serta memberi semangat agar seni gamelan dan pedalangan di Ngawi tetap lestari, di tangan Sanggar Bodromoyo.
Azka merekam semua kegiatan melalui kameranya. Sedangkan Pak Boy, setelah kami selesai berdiskusi, gantian ia yang sibuk menata pose Sertu Ali dan anak-anak dampingannya.