PASURUAN, Harian Disway - Dalam kepercayaan warga Tengger, saat upacara Yadnya Kasada memperingati tahun baru awal bulan Kaso, mereka membawa hasil bumi yang dibentuk demikian artistik. Disematkan di bagian kiri dan kanan tongkat panjang. Dibawa dengan cara dipanggul.
Itu adalah seserahan atau sesaji yang disebut hongkek. Dengan seserahan itu, umat Hindu Tengger akan naik ke atas puncak Bromo. Lalu melemparkannya ke kawah. Sebagai persembahan untuk Tuhan dan leluhur.
"Dinamakan hongkek, berasal dari gabungan dua kata: hong dan kek. Hong menyimbolkan Tuhan penguasa alam. Sedangkan kek adalah simbol leluhur," ungkap Romo Dukun Pandita Puja Pramana, pemimpin peribadatan warga Suku Tengger yang berdiam di Desa Ngadiwono, Tosari, Pasuruan.
Sebagaimana tradisi masyarakat agraris, hongkek adalah simbol ucapan syukur atas hasil bumi yang melimpah. Seserahan hongkek wajib dibawa, kecuali bila ada seorang warga yang meninggal dunia pada bulan Kaso atau bulan pertama.
Tahun ini, Desa Ngadiwono tak membawa hongkek karena ada seorang warga yang meninggal pada bulan Kaso. "Tahun kemarin kami bawa hongkek. Sekarang tidak. Karena ada yang meninggal. Kami percaya, orang yang meninggal, ruhnya akan membantu kami saat Yadnya Kasada," ujarnya.
Maka yang dibawa adalah hasil palawija biasa yang ditata menggantung di kanan-kiri. Bukan hongkek, yang biasanya ditata dengan begitu artistik. Dalam istilah Jawa Tengger, jika ada orang meninggal dunia ketika bulan Kaso, disebut sandungan. Maka mereka tidak membawa hongkek.
Setelah semua piranti terkumpul, mereka bersama-sama menuju Gunung Bromo. Sebelumnya, dilakukan ibadah di Mungal, atau tempat suci yang ada di tepi jalan, akses utama menuju Gunung Bromo yang ada di tiap daerah.
Termasuk di Pasuruan. Setelah itu mereka beribadah di Sanggar Poten atau Pura Agung Poten Gunung Bromo, lalu naik ke puncak dan menyerahkan sesaji ke dalam gelegak kawah Bromo. (*)