Stigma NU Melarat

Selasa 01-08-2023,22:54 WIB
Reporter : Arif Afandi*
Editor : Yusuf Ridho

Perubahan basis sosial dan posisi politis NU itu mengharuskan ormas tersebut menyusun konstruksi baru tentang dirinya. Ajakan Gus Yahya untuk menjernihkan stigma NU melarat saya yakin berasal dari kesadaran itu. Kesadaran bahwa struktur sosial dan politik NU telah berubah. Karena itu, harus berubah pula dalam menyusun strategi perjuangannya.

Ia tak ingin konstruksi lama tetap menjadi bagian alam bawah sadar para penggerak organisasi NU. Karena itu, ia perlu mendekonstruksi cara pandang lama, stigma melarat yang melekat ke NU, dan mengubahnya menjadi cara pandang baru untuk menumbuhkan spirit baru. Hanya dengan cara pandang dan spirit baru, NU akan tetap menjadi penggerak dalam dunia yang berubah.

Gus Yahya tak hanya mempersoalkan stigma NU melarat. Ia juga mengajak penggerak organisasi baru menjernihkan konsep kemandirian NU. Maksudnya apa? Kemandirian untuk siapa? Seperti halnya stigma NU melarat, ia mempertanyakan jika ada yang mengatakan warga NU tidak mandiri.

”Bayangkan, 150 juta warga NU selama ini telah membuktikan bisa hidup. Mereka tidak pernah mengemis untuk bisa hidup. Apakah yang dimaksud tidak mandiri itu pengurusnya? Kalau organisasinya, perlu dirumuskan apa yang dimaksud dengan mandiri itu?” tanyanya.

Bagi ia, NU tidak punya kewajiban untuk mengatasi warga masyarakat, termasuk warga NU. Kalau masih ada yang melarat, itu tanggung jawab pemerintah. Sebab, yang menerima pajak mereka. Kecuali, NU menerima setoran pajak. Jadi, kalau ada yang melarat, yang dihisab bukan NU, melainkan pemerintah.

NU hanya berkewajiban membantu membangun ruang baru warga untuk berkembang. Mencarikan akses kepada jamaahnya untuk mengembangkan potensi-potensi ekonominya. Mendorong vitalitas ekonomi warga NU mendapatkan akses untuk berkembang. 

Dengan pemerintah, kewajiban NU hanya membantu menjamin agenda pemerintah berjalan dan sampai ke warga tingkat bawah. Di bidang ekonomi, NU perlu membangun wacana publik tentang kebijakan yang dibutuhkan masyarakat. Mulai daerah sampai pusat. NU perlu melakukan pembicaraan politik yang menghasilkan kebijakan ekonomi yang memihak kepada rakyat.

Konstruksi sosial dan politik NU yang seperti itu menempatkan pola relasi NU dengan pemerintah dalam posisi sederajat. Karena itu, setiap agenda yang melibatkan pihak luar bukan dalam konteks subordinasi antara satu dan lainnya. Melainkan, merupakan bagian dari kerangka kerja sama yng bermartabat dan saling menguntungkan.

Tentu pemahaman tentang konstruksi sosial dan politik NU seperti demikian muncul dari pemahaman sosiologi yang kuat. Berbagai pernyataan dan kebijakan Gus Yahya selama memimpin NU tampak sekali dilandasi pengetahuannya tentang teori-teori sosiologi, selain pemahaman keagamaan yang mumpuni. 

Saya sempat berseloroh tentang kemampuan Gus Yahya dalam hal ini. ”Gus, saya perhatikan ilmu yang Sampeaan dapat di Jurusan Sosiologi UGM berkah dan sangat bermanfaat. Berbagai pidato Sampean sangat sosiologis,” kata saya suatu ketika.

Ia pun menjawabnya dengan seloroh. ”Ya. Untung saya tidak lulus. Kalau lulus, paling hanya menjadi dosen seperti Najib. Tidak bisa menjadi ketua umum PBNU,” katanya, lantas tertawa. Najib yang dimaksud adalah Muhammad Najib Azka, adik kelasnya di Jurusan Sosiologi Fisipol UGM yang kini menjadi wakil sekjen PBNU. 

Rasanya, semua elemen NU harus mengikuti cara berpikir Gus Yahya jika ingin ormas Islam terbesar ini makin menentukan di masa depan. Menjadikan NU sebagai sumbu perubahan di tengah dunia yang sedang berubah. Membumikan NU sebagai magma perubahan. (*)

*) Mantan wakil wali kota Surabaya, alumnus Fisipol UGM, kini menjadi pengurus LP PBNU.

 

Kategori :