HARIAN DISWAY - Toetik Koesbardiati resmi dikukuhkan sebagai profesor kemarin, 27 Juli 2023. Kebanggaannya itu tak hanya untuk dirinya semata. Tapi bagi Departemen Antropologi FISIP Unair. Bahkan untuk antropologi Indonesia. Seperti biasanya. Toetik Totok membawakan dirinya di dalam acara seformal itu dengan rileks. Pun ketika dia bertoga lengkap dengan kalung kebesaran oranye khas FISIP Unair. Sebagai guru besar dalam bidang ilmu paleoantropologi. Bagian dari ilmu antropologi ragawi. Soal panggilan itu, saya sengaja menyebut namanya begitu mengingat Rektor Unair Prof. Dr. Prof. Dr. Mohammad Nasih, SE., MT., Ak., CA sendiri juga memanggil nama perempuan kelahiran Surabaya, 14 Januari 1967 itu, saat menyilakannya menuju podium untuk berorasi. Tak seperti hari-hari biasa, wajah Mbak Totok -demikian saya memanggilnya- tumben berias untuk hari bersejarah yang membuatnya sah menjadi bagian keluarga besar profesor di lingkungan Unair. Padahal dengan penampilannya yang tomboi selama ini atau sejak saya masuk menjadi mahasiswa Program Studi (profi) Antropologi FISIP Unair pada 1994, saya tak pernah melihat Totok menyentuh make-up. Tapi untuk hari istimewanya kemarin, alis Prof. Dr. Phil. Toetik Koebardiati tampak digambar rapi. Bukan itu fokus saya. Tapi tentang Totok selalu doyan guyon. Banyak candaan yang dilontarkannya dalam orasi sebagai guru besar yang ke-585 atau yang ke-293 jika dihitung sejak Unair sebagai PTN berbadan hukum. Sejak awal orasi, dosen pengampu mata kuliah paleoantropologi itu membuat dirinya tampil apa adanya sebagaimana orang yang mengenalnya dengan nama panggilannya yang maskulin.
Prof. Dr. Phil. Toetik Koesbardiati dengan toga kebesaran sebagai guru besar usai dikukuhkan, 27 Juli 2023. -Toetik K-
Lebih-lebih orasi pengukuhan guru besarnya memang sangat berbeda dengan judul orasi para guru besar pada umumnya. Simaklah judulnya: Memberi Kesempatan Berbicara pada si Mati. “Seperti bola lampu. Seram,” kata Prof Nasih, lebih dulu bercanda, saat menyilakan Totok ke depan. Saat membuka pidatonya setelah salam sebagai penganut Kristeni, Totok mulai bercanda; “Kalau Prof Iman ilmunya di atas langit, saya di bawah bumi. Jadi seimbang,” katanya, lalu tersenyum. Disambut tawa hadirin. Jarang saya melihat orasi pengukuhan guru besar seperti yang ia lakukan kemarin. Cair. Seperti kuliah saja. Profesor yang dia maksud adalah Prof. Iman Harymawan, S.E., M.B.A., Ph.D yang lebih dulu menyampaikan orasi sebagai guru besar dalam bidang ilmu akuntasi keberlanjutan dan tata kelola. Bersama keduanya, ada Prof Dr Joni Wahyuhadi dr SpBS(K) MARS yang dikukuhkan sebagai guru besar dalam bidang ilmu glioma molecular and surgery. Candaan Totok terus ada dalam sepanjang orasinya. “Pak Dekan saya, Prof Bagong (Prof. Dr. Bagong Suyanto, Drs., M.Si, kemarin menyarankan kontingen FISIP harus membawa kembang dupa karena saya membicarakan orang mati,” katanya. ”Bapak ibu tak perlu takut saya enggak mengajak siapa-siapa di belakang saya,” ujarnya, bercanda lagi.
Selanjutnya ia menjelaskan tentang apa antropologi ragawi. Sebab menurutnya banyak yang salah memaknai antropologi. Padahal ia menjadi bagian dari antropologi, yakni ada antropologi budaya dan antropologi ragawi. di bawah antropologi ragawi itu ada paleoantropologi. “Nah (paleoantropologi) yang berkaitan atau semua yang bersinggungan dengan kematian, dengan rangka, dengan orang mati, entah apa yang dipelajari dalam antropologi ragawi,” terangnya. Totok juga menegaskan bahwa cakupan paleoantropologi itu sangat luas. Mulai dari masa lalu hingga masa kini. ”Sehingga tak ada yang luput dari pandangan saya dengan kematian, dengan rangka. Saya tidak akan membicarakan khusus. Saya akan menjelaskan betapa luasnya studi paleoantropologi yang bisa kita terapkan khusus untuk mengidentifikasi orang-orang mati yang patut beri identitas dan dikembalikan kepada keluarga,” ungkapnya. Inilah yang menjadi poin sangat penting di balik pengukuhan Totok dalam meletakkan posisi ilmu antropologi di Indonesia. Gelar profesor untuknya membuktikan bahwa antropologi -khususnya antropologi ragawi- mengalami perkembangan. Totok sangat berjasa dalam mengambil peran itu.
Prof. Dr. Phil. Toetik Koesbardiati diapit tiga teman kuliahnya: Emi Saraswati, Riza Julandari, dan Onny Yulyana, yang memberinya ucapan selamat. -Heti Palestina Y - Sebagai perempuan yang menyandang jabatan akademik tertinggi di salah satu universitas terbaik Indonesia, kebungahan tertinggi kemarin memang milik Prof Tutiek Totok. Tapi sebagai lulusan dari jurusan dan kampus yang sama tapi beda angkatan, saya bisa merasakan bagaimana FISIP Unair juga menyambut profesor ke-22 itu dengan bungah. Apalagi Prodi Antropologi Unair. Di barisan undangan acara Pengukuhan Guru Besar yang memenuhi Aula Garuda Mukti Kantor Manajemen Lantai V Unair, Kampus C Mulyorejo Surabaya, kebahagiaan Totok tak ia miliki sendiri. Sejumlah dosen pengajar Prodi Antropologi Unair -baik aktif dan pensiun-, serta teman-teman kuliah, sangat bersukacita. Maklum, perolehan gelar profesor untuk Totok ini memang luar biasa buat Prodi Antropologi Unair yang berdiri sejak 1985. Sementara Totok sendiri adalah termasuk mahasiswa awal di salah satu jurusan FISIP Unair itu, yakni angkatan 1986. Boleh dikata Totok hidup bersama dengan sejarah prodi itu.
BACA JUGA: ITS dan Unair Tambah Belasan Guru Besar Maka ketika kemarin dia dikukuhkan sebagai guru besar, itulah kebanggaan Prodi Antropologi secara umum. Bahkan untuk sejarah antropologi Indonesia. Bayangkan apa yang dicatat Totok kali ini. Dialah profesor perempuan pertama di bidang ilmu paleoantropologi. Kedua, dialah profesor pertama di bidang ilmu paleoantropologi yang berlatar belakang ilmu antopologi. Sebelumnya selalu lahir dari bidang ilmu kedokteran. Tabik, bukan. Yang ia gagas juga spektakuler untuk Prodi Antropologi, FISIP, dan Unair, bahkan Indonesia. Yakni Museum Etnografi dan Pusat Kajian Kematian. Satu-satunya di dunia. Didirikan pada 2005, Toetik tak hanya menjadi kepala. Tapi dia lantas menggagas sejumlah penelitian tentang kematian yang justru tak banyak dibahas dalam ilmu lain. (Heti Palestina Yunani) Indeks: Awal bertemu dengan ilmu antropologi, baca besok…