MASIH sempatkah para wakil rakyat mampir ke kantornya. Apakah mereka masih produktif ngantor di gedung kura-kura yang kita sebut rumah rakyat di kawasan Senayan itu.
Maklum, saat ini hati dan pikiran para wakil rakyat sudah di pemilu legislatif 14 Februari 2024. Sementara itu, begitu banyak PR yang harus mereka kerjakan.
Sebagai contoh, andaikan para wakil rakyat itu gercep mengerjakan tugasnya, rebutan kasus penyidikan korupsi di Basarnas antara KPK dan Puspom TNI tak akan ada. Sebab, hingga sekarang DPR belum menyinkronkan antara UU Peradilan Militer No 31 Tahun 1997 dan UU TNI No 34 Tahun 2004.
Dalam UU TNI (pasal 65 ayat 2) disebutan, proses tindak pidana umum TNI tunduk ke peradilan umum, sedangkan proses peradilan militer untuk tindakan pidana militer. Itu masih tidak sinkron dengan UU Peradilan Militer yang mengatur TNI tunduk ke pengadilan militer.
Sepanjang tak ada koreksi atau revisi, UU Peradilan Militer tetap berlaku. Itu juga pernah dijelaskan Menko Polhukam Mahfud MD. Karena itu, langkah Puspom mengambil alih kasus dugaan korupsi yang melibatkan Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi memiliki dasar hukum.
Namun, DPR tetap saja tak bergerak walaupun sudah muncul masalah silang pendapat antara KPK dan TNI. Itu tak membuat para wakil rakyat secepatnya menyelesaikan deadlock kedua UU tersebut.
Kalau dibilang waktu tersisa sangat mepet, tidak juga. Masih ada waktu lebih dari setengah tahun. Seperti diketahui, UU IKN dibahas hanya sekitar dua bulan. Bahkan, kini mau direvisi lagi.
Memang RUU dibahas bersama antara DPR dan pemerintah. Kalau pemerintah tak mengambil inisiatif, DPR juga bisa mengambil inisiatif. Tapi, dalam kasus ini, keduanya tak bergerak.
Coba simak salah seorang hakim konstitusi Prof Saldi Isra yang kini sedang mengadili gugatan UU Pemilu yang memohon revisi syarat umur cawapres. Dalam UU, usia minimal 40 tahun. Penggugat kubu PSI yang meminta batas bawah 35 tahun. Kalau gugatan itu lolos, akan terbuka pintu untuk anak Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming, menjadi cawapres.
Intinya, kata profesor hukum asal Universitas Andalas itu, kalau mendengar pendapat DPR dan pemerintah, secara implisit mereka setuju adanya perubahan usia dari 40 ke 35 tahun. Karena itu, mengapa tidak direvisi di DPR saja sehingga tak perlu lewat tangan MK.
Dari pandangan Saldi Isra itu, ada tiga poin penting.
1) DPR seharusnya mempertahankan hasil produknya, yakni UU Pemilu. Itu kan hasil fungsi legislasi lembaga DPR. Tapi, kenyataannya, seperti yang dikatakan Prof Saldi Isra, DPR secara implisit menyetujui gugatan Pasal 169 huruf q UU Pemilu itu. Seharusnya DPR memberikan alasan kuat sekaligus berusaha mempertahankan alasan mengapa UU Pemilu itu mensyaratkan capres dan cawapres berusia 40 tahun.
2) Mengapa DPR dan pemerintah tidak menempuh proses legislasi di DPR? Sebab, kedua pihak sama-sama mendukung gugatan syarat capres dan cawapres menjadi 35 tahun. Istilah Prof Saldi Isra, mengapa harus menggunakan tangan MK.
3) Proses revisi lewat legislasi di DPR lebih partisipatif jika dibandingkan dengan lewat pintu MK. Sebab, proses legislasi itu melewati tahapan yang bisa melibatkan suara publik yang lebih luas.
Gugatan syarat usia capres/cawapres 40 tahun terasa sekali kental nuansa politiknya. UU Pemilu yang digugat itu adalah produk 2017. Namun, mengapa baru digugat menjelang pilpres.