SAYA sedang di Yogyakarta saat berita duka itu beredar. Maestro seni Djoko Pekik meninggal dunia. Dimakamkan Minggu, 13 Agustus 2023, di Makam Seniman Imogiri, Yogyakarta.
Ratusan orang ikut melepaskan jenazah Djoko Pekik dari rumahnya di pinggir Kali Bangunjiwo, Bantul. Karangan bunga berjajar sejak pintu masuk gang menuju rumahnya.
Saya ikut berbaur dengan para pelayat. Ada banyak tokoh dan seniman yang sudah ada di sana. Misalnya, Romo Sindhunata, Butet Kartaredjasa, Putu Sutawijaya, Nasirun, bahkan tampak seniman ketoprak seperti Marwoto dan Kirun.
Banyak perupa yang menggoreskan kuasnya sambil menunggu pelepasan jenazah. Menggambar Djoko Pekik sesuai dengan pandangan masing-masing. Termasuk Nasirun dan kawan-kawan.
Yang musisi menyanyikan lagu-lagu. Juga, yang sesuai jiwa Djoko Pekik. ”Seorang pelukis yang melihat rakyat setara. Yang jiwanya melawan terhadap segala ketidakadilan,” kata Romo Sindhu dalam sambutannya.
Djoko Pekik memang bukan pelukis biasa. Ia pernah menjadi korban keganasan politik rezim Orde Baru. Mendekam dan meringkuk di penjara bertahun-tahun karena dianggap sebagai bagian seniman Lekra. Organisasi kesenian yang dilarang di zaman Orde Baru karena berafiliasi dengan PKI.
Pekik menjadi korban perselingkuhan politik dan ideologi. Dan pertarungan pandangan seni sebagai alat perjuangan dengan seni sebagai seni. Djoko Pekik menjadi korban rezim yang menganggap ekspresi seni sebagai ancaman baginya.
Apakah karena itu ia memiliki nama Pekik di belakangnya? Pekik yang secara bahasa berarti teriak. Melantangkan suara. Bahasa Jawa yang bermakna suara yang membuat telinga pekak. Suara yang keras.
”Yang kami tahu, itu nama aslinya sejak dulu,” kata Butet saat saya tanyakan nama Pekik itu asli dari kecil atau sekadar nama populernya. Butet adalah seniman senior yang jadi teman diskusi Pekik di masa tuanya.
Butet menjadi salah seorang seniman senior yang sangat dekat dengan Pak Pekik –demikian banyak orang memanggil. Ia punya kesempatan mendengar banyak cerita tentang dirinya. Tentang perjalanan hidup Pak Pekik yang belum pernah diceritakan kepada orang lain.
Yang dramatis, cerita Butet, saat ia reriungan bersama Pak Pekik di eks Benteng Vrendeburg Yogyakarta. Tempat yang dulu horor –terutama bagi tahanan politik seperti Pak Pekik– kini sering menjadi lokasi pameran. Di tempat itulah ia dipenjara bersama para tapol lainnya.
Saat itu, kira-kira lima tahun lalu, kata Butet, dirinya diajak Pak Pekik ke suatu ruangan yang telah dipugar menjadi lantai granit yang mengilap. ”Dulu lantainya dari pahatan batu candi. Kasar. Kami para tapol tidur di atas lantai kasar itu,” kisahnya seperti diceritakan Butet.
”Tidurnya berimpitan. Kayak sarden. Hanya bisa meringkuk. Saya di bawah jendela situ,” lanjut Pak Pekik sambil menunjuk jendela di salah satu ruangan eks benteng yang terletak di seberang Gedung Agung Yogyakarta.
Sambil bercerita, Pak Pekik sempat memperagakan tidur meringkuk di tempat itu. Beberapa bulan selanjutnya, di studionya, Pak Pekik kembali memperagakan pose meringkuk dengan telanjang badan, hanya bercawat.
Butet memotretnya dengan pencahayaan yang dramatik. Foto itulah yang kemudian menghasilkan karya lukis Pak Pekik meringkuk dengan latar belakang penjara tempat ia bertahun-tahun menjalani lorong hidup sebagai korban politik. Lukisan itu dibikin pelukis Sigit Santosa.