Dulu memang banyak sekali korban tahanan politik di masa pemerintahan Soeharto. Saat rezim pemerintahan yang berusaha mengikis model politik aliran yang berkembang dalam pemerintahan sebelumnya. Di saat penyeragaman ideologi dan segala hal turunannya berjalan masif.
Sejumlah seniman diberangus bersama partai yang dihabisi rezim Orde Baru. Selain Djoko Pekik, yang sangat terkenal adalah novelis dan penulis Pramoedya Ananta Toer. Tak hanya sempat meringkuk di tahanan. Karya-karya mereka juga diharamkan beredar.
Setelah bebas pun, banyak tapol yang masih seperti hidup dalam penjara. Terutama para pekerja kreatif seperti pelukis atau seniman lainnya. Mereka tak bisa bebas mengungkapkan gagasan kreatifnya. Apalagi kalau ada unsur perlawanannya.
Pak Pekik beruntung. Ia tak hanya menjadi korban politisasi seni. Tapi, juga sempat mendapatkan berkah. Ketika terjadi reformasi politik. Reformasi yang kemudian melengserkan pemerintahan Soeharto. Jadi, ia menjadi korban dan mendapat berkah politik seni.
Salah satu karyanya yang berjudul Berburu Celeng laku Rp 1 miliar di tahun 1998. Setelah rezim Orde Baru yang memenjarakannya berhasil dilengserkan melalui gerakan reformasi. Itu harga yang mencengangkan untuk sebuah karya seni lukis pada zaman itu. Belum pernah ada maestro sebelumnya yang berhasil menembus angka tersebut.
Karya-karya Pak Pekik menjadi makin populer. Ia menjadi pelukis yang terus mengangkat tema rakyat. Termasuk saat ia mengekspresikan pandangannya tentang Presiden Jokowi dalam karyanya, Petruk Dadi Ratu. Karya itulah yang kemudian dikoleksi presiden asal Solo tersebut.
Pak Pekik menjadi korban sekaligus dapat berkah karena berkesenian. Tidak hanya berkesenian. Tapi, juga menggeluti dengan prinsip dan sikap hidup yang jelas. Tidak ria-rio, anut grubyuk atau terombang-ambing keadaan. Ada pembelaan dan posisi jelas dalam setiap karyanya.
Ia menjadikan seni bukan untuk seni. Melainkan, seni sebagai ekspresi sikap. Sebagai media berbicara. ”Melukis itu bicara kepada orang lain. Bicara kepada siapa saja. Bicara kepada publik,” kata Pak Pekik seperti pernah dikutip Mojok.co.
Menurutnya, melukis itu esensinya adalah bicara. Bisa bicara soal kebaikan, bicara soal keadilan, atau bicara tentang revolusi yang belum selesai. Karena itulah, ia menjadi seniman petarung. ”Jadi seniman semestinya seperti kuda balap, bukan kuda untuk andong,” ungkapnya.
Lebih lanjut, lukisan bisa juga berarti pekikan bagi Djoko Pekik. Cara seorang perupa menyuarakan orang-orang yang tidak bersuara. Sebuah pekik tak berpikir pekikannya didengar atau tidak. Memekik itu sendiri sudah sesuatu bagi lainnya.
Karena itu, saya masih penasaran tentang nama pekik di belakang Djoko dari pelukis Berburu Celeng ini. Bisa jadi, itu adalah nama tambahan ketika perupa kelahiran Grobogan, Jawa Tengah, 86 tahun lalu, itu ingin menegaskan sikap keperupaannya.
Setidaknya, karya-karya lukisnya bisa disebut sebagai ekspresi pekikan tentang apa yang dilihatnya. Pekikan tentang hal-hal yang ingin disuarakan. Suara dalam karya. Suara yang tergambar di atas kanvas. Karena Djoko kini telah mewariskan pekiknya di mana-mana.
Saya tidak mengenal dekat Pak Pekik. Namun, saya sering melihatnya hadir dalam banyak perjamuan seni di Yogyakarta maupun Magelang. Terakhir, saya menyaksikan ia hadir di pameran Persahabatan Nasirun di Museum OHD Magelang.
Kematian seseorang bisa menjadi indikator sederhana tentang kebaikannya. Jika banyak orang melayat dan mengantarkan di kala meninggal, berarti orang itu tergolong orang baik. Dan, saya menjadi salah satu saksi begitu banyak orang mengantarkan Pak Pekik ke tempatnya yang abadi. (*)