Merdeka dari Surabaya

Selasa 22-08-2023,16:57 WIB
Reporter : Arif Afandi
Editor : Yusuf Ridho

Sejarah keterlibatan kiai dan santri itu sempat hilang dari khazanah sejarah sekitar pertempuran Surabaya. Sempat yang menonjol adalah komando takbir dari siaran radio yang diteriakkan seorang Bung Tomo. Tanpa ada narasi tentang resolusi jihad dari para kiai.

Tak hanya mengeluarkan resolusi. Para kiai juga menggerakkan para santri untuk melakukan perlawanan. Mereka berdatangan dari berbagai daerah di sekitar Surabaya. Mulai Mojokerto, Jombang, sampai Lamongan.

Kabar tentang banyaknya santri yang meninggal dunia dalam pertempuran di Surabaya itu sampai membuat KH Hasyim Asy’ari sakit. Beliau merasa sedih dan menanggung beban karena menggerakkan santri lewat resolusi jihad maupun memberangkatkan santri secara langsung.

”Beliau mendapat kabar tentang banyaknya santri yang tewas saat beliau ngaji. Begitu mendapat kabar itu, beliau langsung masuk kamar dan sakit hingga meninggalnya,” cerita KH Abdul Hakim Mahfudz, pimpinan Ponpes Tebuireng yang terkenal dengan panggilan Gus Kikin.

Di Surabaya, para santri tersebut bergabung dengan arek-arek Suroboyo. Jangan bayangkan negara yang baru diproklamasikan itu telah memiliki pasukan tentara yang telah terorganisasi dengan baik. Jadi, perlawanan yang puncaknya di 10 November 1945 itu betul-betul perlawanan rakyat.

Inilah perlawanan rakyat yang memastikan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus menjadi tetap relevan. Dengan perlawanan rakyat di Surabaya, kemerdekaan yang telah  diproklamasikan menjadi mempunyai makna. Menjadikan Indonesia seperti seperti sekarang. Seperti yang bisa kita nikmati saat ini.

Seharusnya, Surabaya tercatat dalam buku sejarah lebih besar daripada yang tertulis seperti sekarang. Bahkan, bisa dikatakan bangsa Indonesia dulu merdeka dari Surabaya. Tentu tanpa harus menghilangkan jejak sejarah para pejuang dari kota dan daerah lainnya. (*)

 

Kategori :