Penyebab A mengajukan gugatan ke pengadilan ialah sejak ia kecil, selama puluhan tahun, selalu diledek teman. Ia dikatakan sama sekali tidak mirip ibunya.
Berbekal hasil uji DNA, pihak pengadilan melacak dengan gigih, mencari ortu biologis A. Ketemu.
Jadilah konstruksi perkara begini: A anak konglomerat kaya. B anak orang miskin. Setelah tertukar, terjadi kebalikan.
Ortu B (sebenarnya ortu A) menyekolahkan semua (empat) anak mereka ke sekolah paling bagus di Tokyo. Sampai semuanya sarjana. Dilanjut pascasarjana.
Ortu A (sesungguhnya ortu B) miskin. Sang ayah meninggal dunia saat A usia 2 tahun. Ibunda A tidak menikah lagi, membesarkan A dan dua adiknya dengan perjuangan keras. Kendati, setelah lulus sekolah setingkat SMP, A langsung bekerja di bengkel. Sebab, ia kasihan melihat perjuangan keras ibunya mencari nafkah keluarga.
Dari pegawai bengkel, A kemudian jadi sopir. Pada usia senja, ia punya truk dan menyopiri sendiri truk untuk mencari muatan di Tokyo. Jadi, saat menggugat ke pengadilan, status pekerjaan A adalah sopir truk.
Sebaliknya, B pada 2013 adalah presiden direktur perusahaan properti besar di Tokyo. B juga pemilik saham di perusahaan itu.
Pastinya menyakitkan bagi A. Tapi, gugatannya terhadap perusahaan rumah sakit tempat ia dilahirkan dikabulkan Pengadilan Tokyo. Nilai gugatan USD 317.000 (sekitar Rp 4,85 miliar) dan segera dibayarkan.
Kisah itu diliput jurnalis NPR berbasis di Tokyo, Lucy Craft. Lalu, disiarkan di radio NPR oleh pembawa acara Ari Shapiro. Bentuknya, Shapiro mewawancarai Craft berdasar hasil liputan kisah itu di Tokyo.
Lucy Craft: ”Ini benar-benar kisah tentang seorang pangeran dan orang miskin.” Kalimat Craft langsung menohok.
Hasil interviu Lucy terhadap A, disimpulkan bahwa A senang sekaligus sedih. Senang, karena gugatannya dikabulkan pengadilan. Sedih, karena ia merasa kehilangan identitas diri selama enam dekade.
A berkata: ”Saya membayangkan, bisa memutar balik waktu.... Ketika saya mengetahui tentang orang tua kandung saya, saya berpikir: Oh… betapa saya berharap mereka membesarkan saya, dulu.”
Namun, Lucy mencatat bahwa A menunjukkan sikap bijaksana dan rendah hati.
Lucy: ”Ia (A) mengatakan merasa berterima kasih kepada keluarga yang telah membesarkannya. Juga, kepada orang tua kandungnya. Ia juga mengatakan tidak merasakan permusuhan, kebencian, atau kepahitan terhadap anak laki-laki yang bertukar tempat dengannya (B).”
Dilanjut: ”Ia bilang, ditujukan untuk orang yang tertukar (B), bahwa kita sama-sama korban dalam hal ini. Aku tidak bisa marah kepadanya (B).”
Ditilik dari usia A (saat 2013), harta dan kekuasaan sudah kurang berarti lagi. Maka, ia bersikap bijak.