HARIAN DISWAY – Sejak 2020, Korea Utara (Korut) memberlakukan undang-undang yang sangat unik. Yakni UU Pemikiran Anti-reaksioner. Yang kalau diterjemahkan secara mudah, bisa dianggap sebagai UU Anti-K-pop.
Undang-undang itu tidak hanya ditujukan pada K-pop. Tapi semua konten budaya dari Korea Selatan (Korsel). Termasuk K-drama, film, fashion, dan tren gaya hidup yang lain.
Siapa pun yang menyebarkan konten-konten dari Korsel, bakal menghadapi hukuman yang sangat berat di Korut. Bukan hanya dipenjara. Mereka juga menghadapi kemungkinan kerja paksa.
BACA JUGA: Mengenang Tragedi Korsel-Korut di Pengujung Juni 1950
Tiga tahun UU itu diberlakukan, tiga tahun pula pemerintah Korsel diam saja.
TIGA TAHUN Korut larang warganya nikmati konten K-Pop, Korsel akhirnya protes UU Anti-K-Pop. UU itu melarang segala distribusi konten Korsel, termasuk drama Crash Landing on You yang mengisahkan tentara di perbatasan Korut tersebut. -Netflix-
Tapi, masa cuek itu sudah selesai. Pemerintah Korsel akhirnya bersuara soal UU Anti-K-pop.
’’Kami sangat mendesak pemerintah Korea Utara untuk menghapuskan Undang-Undang Pemikiran Anti-Reaksioner yang menghalangi warganya untuk mengakses informasi dari luar,’’ demikian pernyataan Menteri Unifikasi Korea Selatan Kim Yung-ho, sebagaimana dikutip dari The Korea Times.
BACA JUGA: Hikmah Konflik Korsel-Korut: Perbatasan DMZ Jadi Surga Flora Fauna Langka
Tuntutan pencabutan UU Anti-K-Pop tersebut muncul beberapa hari setelah Kim bertemu dengan para wartawan.
Saat itu, ia berjanji bahwa kementerian yang dipimpinnya akan lebih proaktif dalam usaha menangani isu-isu hak asasi manusia yang melibatkan Korea Utara. Salah satunya dengan mengkritik UU Anti-K-Pop itu.
UU Anti-K-Pop—yang mulai diterapkan pada November 2020, memang terlihat sederhana. Ia melarang pembuatan, distribusi, dan konsumsi segala konten yang berpotensi ’’menghancurkan sistem’’ yang terbangun di Korut.
TIGA TAHUN Korut larang warganya nikmati K-Pop, Korsel akhirnya protes UU Anti K-Pop. -CJ Entertainment -
Di dalamnya, disebutkan bahwa pelanggar bisa menghadapi hukuman 10 tahun kerja paksa.
Pada praktiknya, menurut seorang pakar HAM Korsel, yang diterapkan pemerintah Korut lebih mengerikan daripada apa yang dinyatakan dalam UU tersebut.
BACA JUGA: Money Heist: Korea Rilis Trailer Baru, Korsel dan Korut Bergabung
Sang pakar mengutip pengakuan dari warga pelarian dari Korut. Warga itu bilang, mereka bisa dihukum penjara seumur hidup jika kedapatan menonton film Korsel hanya beberapa jam saja.
Sedangkan bagi distributor konten, hukumannya bisa lebih parah. Mereka bisa dieksekusi. Perburuan terhadap para distributor itu meningkat berkali-kali lipat tanpa preseden dalam beberapa tahun terakhir.
Super keren! V BTS jadi solois Korea pertama yang dua lagunya dari album Layover debut di Top 10 Billboard Global 200.-Bighit Music -YouTube Big Hit Music
Penerapan UU Anti-K-pop, menurut pakar HAM tersebut, justru mengindikasikan bahwa pengaruh Korsel di Utara semakin kuat.
’’UU itu menunjukkan bahwa elite penguasa Utara semakin merasa bahwa konten-konten budaya pop Korea Selatan mengancam kontrol mereka terhadap warganya,’’ ungkap pakar itu.
Tidak seperti konten dari negara lain, lanjut pakar tersebut, masyarakat Korut dapat dengan mudah merasa related dengan konten dari Korsel. Misalnya dengan film atau K-drama, yang aktor-aktornya berbicara dalam bahasa mereka.
BACA JUGA: Peringati Kematian Kim Jong II, Warga Korut Dilarang Tertawa Selama 11 Hari
’’Film-film dan drama itu dapat mempengaruhi cara pandang warga Korut terhadap diri mereka sendiri. Hingga akhirnya menyadari bahwa ada yang salah pada mereka, dan perlu diubah,’’ papar peneliti yang enggan namanya disebutkan itu.
STRAY KIDS bakal tampil di MTV Video Music Awards, STAY catat tanggalnya!-JYP Entertainment-
Dia menilai, tuntutan terbuka Menteri Kim Yung-ho kepada Korut tentang penghapusan UU Anti-K-Pop dapat membantu menegakkan HAM di level internasional. Serta menggalang dukungan dari negara-negara yang punya pendapat serupa.
Namun, agar pesannya makin meyakinkan, Korsel terlebih dulu harus melakukan sesuatu. Yakni, membatalkan larangan untuk mengakses media-media Korut.
Selama ini, publik Korsel memang dilarang mengonsumsi media-media Korut. Menurut sang pakar, apa yang dilakukan pemerintah Korsel tidak jauh beda dengan Korut. Yakni, membatasi informasi publik tentang satu sama lain.
Dan itu, kata sang pakar, sama-sama menghalangi hak warga untuk mendapatkan informasi. Korsel tampaknya harus introspeksi diri… (*)