Taufik: ”Kami usulkan ke sudin perhubungan supaya dilakukan contraflow. Dari jam 05.00 sampai jam 08.00 lah.”
Kepala Sudin Perhubungan Jaksel Bernard Octavianus Pasaribu, konfirmasi wartawan, Sabtu, mengatakan sebagaimana berikut.
”Ya… Memang benar. Ada empat RW di Kelurahan Lenteng Agung (RW 7, 8, 9, 10) yang mengajukan permintaan contraflow di Jalan Lenteng Agung Timur Lama.”
Dilanjut: ”Karena banyaknya pengendara roda dua yang melawan arah, khususnya di pagi hari. Pengajuan permohonan bersamaan dalam satu surat karena ada forum RW-nya.”
Menanggapi itu, pihak sudin perhubungan menuturkan, ”Akan kami kaji dengan pihak terkait.”
Permintaan warga itu juga didukung Kapolsek Jagakarsa AKP Iwan Gunawan saat dihubungi wartawan Minggu, 3 September 2023.
Iwan: ”Kami akan kawal surat dari ketua RW itu. Idealnya surat ditembuskan ke kepolisian. Jadi, selain surat dikirim ke sudin perhubungan, juga ke Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Polri. Maka, nantinya diteruskan ke Polsek Jagakarsa. Sehingga bisa kami kawal.”
Sejarah Jalan Lenteng Agung berubah sejak 1 Juli 1987. Waktu itu pembangunan kampus Universitas Indonesia (UI) Depok sudah hampir selesai. Kampus UI yang semula di Jakarta (Jalan Salemba) waktu itu akan dipindah ke Depok. Peresmian kampus baru UI di Depok dilakukan Presiden Soeharto, 5 September 1987.
Sebelum ada kampus UI Depok, Jalan Lenteng Agung cuma ada satu, yang sekarang disebut Jalan Lenteng Agung Timur (lama). Yang kini dilewati ratusan pemotor pelawan arah itu.
Jalan itu dulu dua arah. Dengan demikian, warga dari jalan-jalan kecil yang menuju ke Jalan Lenteng Agung bisa langsung belok kiri atau kanan. Bentuk konvensional.
Ketika kampus UI Depok dibangun, pun dibangun pula Jalan Lenteng Agung Baru. Posisinya di arah barat Jalan Lenteng Agung lama. Masing-masing dibikin satu arah. Jalan lama dari utara ke selatan, sedangkan jalan baru sebaliknya.
Itulah yang membuat warga pengguna jalan lama merasa keberatan memutar jalan. Mereka main potong jalan, melawan arah.
Pelawan arah cuma pemotor. Sebab, lebar jalan itu sekitar 5 meter. Nyaris tidak ada mobil pelawan arah di situ. Bagi pemotor, jalan tersebut dirasa masih cukup lebar untuk dipotong. Toh, para pemotor pelawan arah mengambil jalan pelipir, mepet selokan di pinggir kiri (dari arah normal).
Kini, 36 tahun kemudian, Jalan Lenteng Agung sangat ramai. Baik di jam sibuk maupun jam biasa. Baik di jalan lama maupun baru. Karena itu, pelawan arah harus ekstra hati-hati.
Pemotor lawan arah terpaksa mengambil jalan makin mepet ke beton tutup selokan. Sebab, di jalan itu tidak ada trotoar. Juga, tidak ada jalur hijau taman. Seandainya pemotor naik ke beton penutup selokan, bisa sangat berbahaya. Sebab, di sebagian titik, selokan terbuka tanpa beton penutup.
Jadi, risiko pemotor lawan arah ada tiga. Pertama, tercebur got atau kesenggol beton penutup got. Bisa fatal, dimakan kendaraan dari arah normal. Kedua, ditabrak kendaraan dari arah normal. Ketiga, ditilang polisi.