Kalau menggambar, bocil-bocil itu mau. Tapi, kalau menyanyi, mereka belum bisa. Lagi pula, lagu apa yang mau dinyanyikan? Dalam suasana batin seperti itu. Dalam suara parau tenggorokan kecil itu. Berkata pun mereka belum bisa, apalagi menyanyi.
Walau langit meledak, bumi berguncang, relawan-relawan itu sangat besar jasanya. Mereka tidak sembarangan. Mereka para ahli healing. Para sarjana psikologi. Mereka sekolah tinggi bukan bayar roti, bayar duit banyak.
Jadi, keluarga Deden tidak mampu membayar jasa mereka. Sebab, jasa mereka tak ternilai harganya. Sulit dikonversi dengan uang. Dalam masyarakat Jabodetabek yang materialistis. Apalagi, dalam kondisi keluarga berduka begitu. Cuma Allah yang bisa mengalkulasi dengan akurat jasa para relawan itu. Sekaligus pembalasannya.
Deden: ”Alhamdulillah… Kedatangan para relawan itu sangat-sangat membantu para keponakan kami. Bocil itu terhibur. Terlebih, membantu kami mengatasi kebingungan merawat bocil-bocil malang ini. Semoga para relawan diberkahi Allah.”
Tidak banyak yang tahu, apalagi berempati, terhadap dampak pembunuhan dalam anggota keluarga. Polisi, jaksa, hakim, fokus pada pasal-pasal hukum pidana. Sibuk dalam menyidik bukti-bukti hukum. Demi menegakkan keadilan.
Masyarakat cuma terkejut satu dua hari. Viral dan heboh. Setelah itu, semua orang terbenam, tenggelam. Larut teraduk dalam problem hidup masing-masing.
Sementara itu, keluarga korban menanggung dampak bertahun-tahun. Ibunda bocil itu tak pernah kembali. Dalam tragedi yang mereka saksikan sendiri.
Kondisi begitu bukan cuma di Indonesia, melainkan dunia. Ini tragedi universal. Pada semua manusia.
Dikutip dari Los Angeles Times terbitan 5 Oktober 1995. Pada judul yang sangat panjang.
Shock Haunts Children Who See Parent’s Slaying: Violence: Study finds that, without help, up to 200 minors a year in L.A. alone can suffer post-traumatic stress syndrome.
”Hukum Amerika berfokus pada bukti-bukti hukum pengambilan nyawa manusia. Bukan pada apa yang kemudian terjadi, setelah hilangnya nyawa seseorang,” kata Pynoos dan Eth dalam penelitian mereka.
Dilanjut: ”Maka, proses pidana diarahkan untuk mengadili kesalahan atas pembunuhan tersebut, dan umumnya tidak memikirkan kerugian sangat besar yang diderita anak tersebut.”
Yang berkata itu kepada Los Angeles Times adalah Prof Spencer Eth dan Prof Robert L. Pynoos. Dua kriminolog Amerika Serikat (AS) yang sangat terkenal pada saat artikel tersebut diterbitkan. Mereka penulis buku fenomenal, bertajuk Witness to Violence: The Child Interview (Mei 1986).
Buku kuno tersebut hasil riset mendalam. Karena itu, buku tersebut masih dijadikan rujukan kriminolog sampai sekarang, spesialis untuk kasus seperti pembunuhan Mega Suryani oleh Nando Kusuma. Disebut femicide.
Riset untuk buku itu dilakukan Eth dan Pynoos terhadap 55 anak, usia 3 hingga 17 tahun, di AS tahun 1980-an. Riset tersebut dianggap para akademisi di sana sebagai yang terbesar dari jenisnya.
Eth dan Pynoos terkejut (waktu itu di sana) bahwa dampak kekerasan masih menjadi hal yang terabaikan. Bahkan, relatif jarang dilaporkan dalam bidang eksplorasi psikiatri.