Anak trauma menyaksikan orang tua meninggal secara mengenaskan, dapat memicu ketidakberdayaan luar biasa. Juga, ingatan berkepanjangan akan momen-momen paling kejam, demikian temuan studi tersebut.
Gambar-gambar yang tak terhapuskan masih melekat. ”Seperti lemparan pisau atau ledakan senapan,” kata para penulis. ”Atau gorokan leher sehingga darah menyembur bagai pipa air yang terluka.”
Indra anak-anak disergap oleh ”pemandangan, suara, bau mesiu tembakan; jeritan atau keheningan tiba-tiba dari korban, semburan darah pada pakaian anak sendiri, genggaman orang tua yang sedang sekarat; serta sirene kedatangan polisi dan ambulans.” Semua itu meninggalkan bekas mendalam di alam bawah sadar anak.
Apa yang dialami anak-anak tersebut, waktu itu disetujui sebagian besar peneliti, adalah gejala klasik sindrom stres pascatrauma. Post traumatic stress disorder (PTSD). Istilah psikologi-kriminologi itu muncul di saat buku Eth dan Pynoos terbit.
Tanpa bantuan terapis ahli, kata Eth dan Pynoos, anak-anak yang menyaksikan pembunuhan orang tuanya (apalagi pembunuhnya orang tua yang lain) lebih mungkin melanjutkan siklus kekerasan, bahkan mungkin kelak dewasa jadi pelaku. Atau, menjadi korban pembunuhan.
Di antara responden, ada si kembar cewek (nama dirahasiakan) yang saat itu berusia 15 tahun. Mereka mukim di San Gabriel Valley, California Selatan, AS. Mereka menyaksikan ayah membunuh ibu ketika mereka berusia 2,5 tahun. Di 1973.
Dikisahkan, mereka korban perceraian. Ayah dan ibu cerai ketika mereka bayi. Lalu, ibu menikah lagi. Ayah tiri mereka sering melakukan KDRT ke ibu (mereka tahu itu setelah remaja, dari membaca hasil persidangan).
Suatu siang yang cerah, mereka sekeluarga hendak pergi liburan. Semua barang sudah dikemas di mobil. Si kembar sudah duduk di dalam mobil. Yang parkir di halaman depan. Menunggu. Ayah dan ibu masih berbenah.
Tahu-tahu ayah dan ibu bertengkar. Dari cekcok mulut berubah jadi baku pukul. Akibat baku pukul, ibu dibanting di halaman rumput. Seketika ayah masuk rumah lagi. Mengambil sesuatu. Ternyata pisau dapur. Mengilat.
Si kembar cerita kepada The Times, ”Mom merangkak di rumput menuju mobil, tepat ke arah kami di dalam mobil. Saya melihat dari kaca jendela, tapi belum mengerti maksud daddy.”
Dad mendekati mom. Dengan pisau terangkat ke udara. Lalu, dihunjamkan ke tubuh mom. Jerit kesakitan mom menyatu dengan jeritan dua bocah kembar itu.
Tak puas dengan tikaman itu, daddy lalu memiting leher istrinya. Berakhir dengan menyembelih leher istri. Sampai batang tenggorok putus.
Si kembar: ”Darah menyembur seperti pipa air yang pecah. Membasahi rumput hijau. Saya tahu mom sangat kesakitan.”
Si kembar ingat, mereka berdua menangis, berteriak: ”Mama-bebe, mama-bebe…” Salah satu dari kembar turun dari kursi mobil, ngumpet ke bawah jok. Kembar satu lagi keluar mobil, berlari ke sisi ibunda yang terbaring di rumput. Tapi, ibu sudah tidak responsif.
Kembar: ”Saya berdiri di sana, tepat di samping ibu saya. Saya memanggil namanya, dan dia tidak menjawab. Itu membuatku kesal. Ada darah di mana-mana.”
Mereka ingat merasakan pelukan tetangga yang menjemput mereka. Melihat lampu polisi dan kendaraan penyelamat yang berkerumun di lokasi kejadian. Juga, mendengar polisi memerintah si pembunuh: ”Jatuhkan pisau. Jatuhkan pisau…”