Dilema Kebijakan Pemda Jelang Tahun Politik

Rabu 20-09-2023,13:54 WIB
Reporter : Imron Mawardi*
Editor : Yusuf Ridho

Banyak pemda saat ini yang memang mengalami kesulitan keuangan. Mengalami defisit. Pemkot Surabaya, misalnya, melakukan sejumlah efisiensi  karena perkiraan pendapatannya meleset. Bahkan, pembayaran tambahan penghasilan pegawai (TPP) sempat molor dua bulan. 

Pemda Pamekasan sejak beberapa waktu lalu menghilangkan TPP yang sangat berarti bagi pegawai. Bahkan, salah satu pemda harus berutang ke bank untuk menutup kebutuhan yang belum ada dananya. 

Selain karena melesetnya pendapatan tahun 2023, kini pemda harus menyiapkan anggaran cukup besar untuk pilkada 2024. Instruksi dari Kementerian Dalam Negeri, pemda harus menganggarkannya dalam dua tahun anggaran 2023 dan 2024. 

Nilainya cukup besar. Sekitar Rp 100 miliar setiap pemda. Pemda yang belum menyisihkan secara tahunan pasti kelabakan harus menyiapkan dalam dua tahun anggaran itu. 

Kebijakan kepala daerah memang sering kali tidak bisa dilepaskan dari  kepentingan politiknya. Beberapa tahun lalu, kebijakan UMK di Pasuruan tiba-tiba memicu kenaikan UMK di daerah-daerah lain yang menjadikan UMK antardaerah sangat timpang. 

Lihat saja, UMK Kabupaten Mojokerto tahun 2023 Rp 4.504.787, sementara Kota Mojokerto hanya Rp 2.710.453. Jika Kabupaten Pasuruan Rp 4.515.133, Kota Pasuruan hanya Rp 3.038.837. Padahal, kabupaten dan kota itu berimpitan. 

Begitu juga Gresik dan Lamongan yang juga berimpitan. UMK Gresik Rp 4.522.030, sedangkan Lamongan hanya Rp 2.701.977. 

Seharusnya kepala daerah bisa melepaskan kebijakan pemerintahannya dengan kepentingan politik pribadinya. Jika tidak, yang jadi korban adalah masyarakat dan stakeholder pemerintah daerah yang lain. 

Itu seperti kasus UMK, tarif pajak daerah, dan berbagai kebijakan pemerintah daerah yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat. (*)

*) Dosen Ekonomi dan Bisnis, Wakil Dekan Fakultas Teknologi Maju dan Multidisiplin Universitas Airlangga

 

Kategori :