MENGAWALI abad baru, kita dihadapkan pada era kedokteran yang terus berkembang. Seakan-akan, praktik kedokteran kini berlari mengejar waktu, menggenggam konsep ”adaptive professionalism” yang diusung Freidson.
Sebuah teori yang menekankan bahwa profesionalisme adalah entitas dinamis, bukan batu yang statis dan tak bergerak.
Kedokteran, sebagai garda terdepan dalam menyelamatkan nyawa, kini makin terlihat memancarkan aura adaptif. Bukan hanya ilmu dan teknik yang dipelajari dari buku teks, melainkan juga kemampuan untuk berdansa dengan irama zaman.
BACA JUGA:Mengenal Spesialis Kedokteran Kelautan, Prodi Baru Universitas Hang Tuah Surabaya
BACA JUGA:Saatnya Menimba Ilmu Kedokteran hingga ke Tiongkok
Setiap detak teknologi dan harapan masyarakat menjadi irama yang membentuk tarian medis masa kini.
Era digital telah mengubah lanskap medis. Buan lagi hanya ruang praktik dengan aroma antiseptik, melainkan juga layar digital yang menawarkan konsultasi tanpa batas ruang dan waktu.
Teknologi dan informasi memangkas jarak antara dokter dan pasien, membangun jembatan komunikasi yang lebih intim.
Hisnindarsyah, dokter spesialis kelautan, pengurus IDI Jatim, dosen FK Universitas Hang Tuah, Surabaya-Dok Pribadi-
Namun, dalam keriuhan informasi, regulasi menjadi kompas yang menunjukkan arah.
Sebagai penjaga kualitas dan integritas medis, regulasi memastikan bahwa setiap perkembangan tetap berada dalam koridor kebenaran ilmiah dan etika.
Seperti layaknya refleksi di cermin, kebutuhan masyarakat kini menjadi bayangan dari perkembangan medis.
Kesadaran akan kesehatan mental, sebagai contoh, telah mengubah paradigma dokter untuk melihat pasien bukan hanya dari fisik, melainkan juga jiwa.
Namun, menjadi adaptif tidak berarti tanpa tantangan. Bagai pelaut yang harus memilih antara mengikuti arus atau berlayar menentangnya, dokter kini dihadapkan pada dilema antara inovasi dan integritas.
Namun, dalam setiap keputusan, esensi kedokteran tetap terjaga: kesejahteraan pasien.