SETIAP tahun di Indonesia menjelang akhir September perdebatan nasional memunculkan kontroversi lama mengenai kudeta 1965. Perdebatan panas tidak pernah selesai, apakah PKI (Partai Komunis Indonesia) bersalah atau tidak.
Muncul dua kubu yang saling bertentangan. Perdebatan sangat tajam di antara kedua kubu.
Hampir 60 tahun sejak peristiwa kudeta yang dikenal sebagai G-30-S, bangsa Indonesia belum benar-benar pulih dari trauma. Sebaliknya, trauma itu makin berlarut-larut dan upaya menuntaskan trauma tersebut tidak pernah benar-benar bisa memuaskan semua pihak.
BACA JUGA:Isu G-30-S PKI, Bisa sampai Seabad
BACA JUGA:Presiden Jokowi Nyatakan Penyesalan atas 12 Pelanggaran HAM Berat, Mulai PKI hingga Trisakti
Pihak pertama menuduh –dengan penuh keyakinan– bahwa PKI seratus persen bersalah. Kelompok itu mendapat dukungan dari kalangan konservatif muslim dan kalangan nasionalis kanan.
Kelompok kedua yakin bahwa PKI tidak bersalah dan hanya menjadi korban persaingan kekuasaan politik antara elite-elite politik, yang melibatkan kalangan TNI (Tentara Nasional Indonesia).
Kelompok tersebut percaya bahwa PKI menjadi korban persekongkolan elite politik yang mendapatkan sokongan dari kekuatan asing, khususnya Amerika Serikat.
BACA JUGA:Mahfud MD: Penyesalan Presiden atas Kasus 1965 Bukan Memberi Angin ke PKI
Kelompok yang berpendapat seperti itu adalah kalangan liberal kiri yang sekarang sedang naik daun di Indonesia di era Joko Widodo.
Isu-isu kecil menjadi sangat sensitif. Di masa lalu, peristiwa itu dikenal sebagai pemberontakan G-30-S/PKI.
Belakangan ada ”pelurusan sejarah” dan penulisan peristiwa itu hanya menyebut ”G-30-S” tanpa PKI.
Bahkan, pemutaran film ”pemberontakan PKI” pun menuai pro dan kontra yang panjang. Sebab, kedua pihak berbeda pendapat mengenai versinya.
Pemerintahan Jokowi menanggung beban untuk membalas dukungan kalangan liberal kiri yang menuntut rehabilitasi nama. Risiko yang ditanggung Jokowi dan rezimnya adalah tuduhan bahwa rezim ini dikuasai PKI.
Bahkan, Jokowi sendiri dianggap sebagai PKI. Tuduhan semacam itu terlalu keras. Namun, dalam praktiknya, banyak orator yang memakai ungkapan tersebut secara terbuka.