Wisata heritage Kota Surabaya sudah amat siap. Bahkan, jauh sebelum perhelatan Piala Dunia U-17 berlangsung. Wisata perahu Kalimas, misalnya, sudah mulai menjadi magnet sendiri bagi turis asing.
SORE masih terik. Orang-orang mulai memenuhi kursi kosong di teras kedai es krim Zangrandi yang legendaris itu. Setelah melepas dahaga, saya menyeberang lagi. Lalu berjalan ke utara. Persis di ujung jembatan Jalan Yos Sudarso itu baru belok kiri ke Jalan Ketabang Kali. Suasananya lebih asri. Selain rindang pepohonan, pandangan mata juga ditenteramkan oleh air yang mengalir di Kalimas. Ini seperti wajah lain dari pusat Kota Surabaya. Sebab, sepanjang jalan itu tak ada jalur pedestrian. Para pejalan kaki sesekali terpaksa menghindari laju kendaraan dari belakang. Apalagi, kalau sudah malam hari di akhir pekan. Motor dan mobil berjejal di sana. Jalan yang tak begitu lebar itu pun makin menyempit oleh kendaraan yang parkir di pinggir jalan. BACA JUGA : Geliat Surabaya Jadi Tuan Rumah Piala Dunia U-17 (1): Momentum Kebangkitan Wisata Heritage Kawasan Ketabang Kali memang menjadi magnet wisatawan beberapa waktu belakangan. Yang ingin nuansa romantis, biasanya nongkrong di Dermaga Laksamana dekat jembatan saat malam hari di akhir pekan. Mereka menikmati suguhan musisi jazz yang konser langsung di atas perahu. Makin syahdu oleh kerlip-kerlip lampu hias yang memantul ke permukaan air. Dari titik dermaga kecil itu, jaraknya masih 500 meter ke destinasi berikutnya: Taman Prestasi. Di taman inilah para pengunjung membeludak saat malam hari. Memang paling pas untuk wisata keluarga.Kalimas melintasi kawasan Ketabang Kali. Sungai itu punya sejarah panjang sebagai sarana transportasi tempo dulu.-Sahirol Layeli-Harian Disway- Tentu, yang jadi primadona ialah wisata perahu Kalimas. Yang baru diluncurkan pada Mei 2022 itu. Salah satu titik berangkatnya juga dari dermaga di Taman Prestasi. Lain saat sore hari. Hanya terlihat para petugas wisata perahu yang sedang bersiap membuka loket. Sementara jumlah pengunjung Taman Prestasi bisa dihitung jari. Pedagang yang menjajakan pun demikian. "Jualannya memang sore, ngikut jadwal perahunya, Mas," ujar Eni Hendayati sambil mulai menata dagangannya bersama sang suami. Warga Ngaglik itu berjualan lumpia sejak awal Taman Prestasi dibuka untuk umum. BACA JUGA : Geliat Surabaya Jadi Tuan Rumah Piala Dunia U-17 (2) : Nikmati Atmosfer Seni di Alun-Alun Surabaya Di hari-hari biasa, Eni cuma membawa stok 50 potong lumpia. Saat akhir pekan bisa tiga kali lipatnya. Ekonomi ibu dua anak ini pun amat terbantu begitu wisata perahu Kalimas diluncurkan pada Mei 2022. Sebab, jumlah pengunjung di Taman Prestasi langsung meningkat drastis. Terutama di malam hari. "Malah sekarang alhamdulillah sudah mulai dikunjungi bule juga," ujar Eni lantas melempar pandangannya jauh ke depan. Ternyata, tepat di depan kami ada sejoli bule sedang asyik berbincang dan duduk di bangku taman. Saya pun penasaran lantas menghampiri mereka.
Wartawan Harian Disway berbincang dengan dua turis dari Jerman.-Sahirol Layeli-Harian Disway- Keduanya berpakaian santai khas gaya pelancong. Yang lelaki bersepatu, bertopi jerami, dan mengalungkan kamera digital di lehernya. Yang perempuan lebih santai dengan blouse, rok panjang, dan sandal jepitnya. "Kami dari Jerman, baru tiba dua hari lalu," ujar Samiri Perera dalam bahasa Inggris usai kami berkenalan satu sama lain. Lelaki berewok itu memang pelancong sejati. Ia dengan sang kekasih, Simone Pijl, sudah menjelajahi semua negara-negara Asia Tenggara. Indonesia menjadi destinasi terakhir. Keduanya mendarat di Jakarta sejak dua minggu lalu. Pekan pertama dihabiskan di ibu kota. Pekan kedua untuk Solo dan Yogyakarta. Inilah eloknya. Awalnya, saya mengira Surabaya hanyalah persinggahan sementara sebelum menuju Bali. Sebagaimana banyak turis asing yang terpikat dengan pesona Pulau Dewata itu. Ternyata, mereka justru tak memasukkan Bali dalam daftar perjalanan. "Kenapa kalian malah ke Surabaya? Apa menariknya?" tanya saya spontan. "Bali terlalu ramai dan populer. Dan selera kami bukan yang seperti itu," jawab Samiri. "Kami ingin menikmati budaya dan aktivitas warga lokal yang lebih murni," sahut Pijl. Selera mereka pun terpuaskan di Kota Pahlawan. Pijl begitu menikmati wisata sejarah. Yang paling seru, katanya, kampung Pecinan di Kembang Jepun.
Senyum puas turis Jerman yang baru saja menyusuri Kalimas.-Sahirol Layeli-Harian Disway- Tentu saja yang dimaksud adalah Kya-Kya. Malam sebelumnya, mereka menghabiskan waktu di salah satu surga kulineran Kota Surabaya itu. "Lumpia, bakso, and sate with peanut sauce is so delicious, my favorite one," timpal Samiri dengan pengucapan yang agak terbata-bata. Lantas menyunggingkan senyum. Lelaki blasteran Timur Tengah ini menyukai otentisitas warga lokal. Ia selalu mengamati apa pun yang khas dari setiap tempat. Itulah alasan mereka ke Taman Prestasi setelah mampir ke Balai Pemuda. Kebetulan. Rute kami sama persis. Samiri juga penasaran dan ingin menjajal wisata perahu Kalimas. Saya pun menyarankan mereka gabung bersama kami. Tetapi, Pijl sempat menolak lantaran tak mau merepotkan. Akhirnya, saya membantu keduanya mendaftar di tiketwisata.surabaya.go.id. Setelah selesai semua mengisi data, tentu harus membayar tiketnya. Harganya murah, cuma Rp 4 ribu. Namun, harus pakai uang digital. "Saya cuma punya Paypal," kata Pijl. Tentu saja tidak bisa. Sebab, tiket hanya bisa dibeli dengan QRIS. Pijl lun menyerah. Lantas menerima tawaran saya dengan senyum yang agak tersipu. BACA JUGA : Sparkling Kalimas Jazz: Penampilan Musik Jazz, Wisata Kuliner, hingga Wisata Perahu Tiket sudah di tangan. Kami bertiga segera ke dermaga. Selain sebagai jurnalis, saya seolah seperti menjadi pemandu tur begitu sudah duduk di kursi perahu. Saya duduk di samping nakhoda. Samiri dan Pijl persis di belakang saya. Sepanjang perjalanan, rasa kepo Samiri menjadi-jadi. Ia menanyakan hampir segala hal. "Dulu, Kalimas ini pelabuhan tradisional yang digunakan berabad-abad lalu," jawab saya atas pertanyaan Samiri soal sejarah Kalimas. Untung, sejumlah hal pernah saya pelajari sejarahnya. Yakni saat wawancara dengan Ketua Begandring Soerabaia Nanang Purwono. Termasuk soal periode Indonesia dikuasai oleh VOC Belanda. Kalimas menjadi tempat transportasi untuk kebutuhan mengangkut barang dan ikan-ikan hasil tangkapan nelayan. Untuk kemudian didistribusikan ke kota. "Titik awalnya dari Kembang Jepun tempat kalian kulineran semalam sampai ke Kayun," tutup saya. Samiri terus penasaran. Sementara Pijl terlihat melongo. Sejarah kadang terasa membosankan. Tetapi, kali ini, ia terasa lebih hidup. Terutama karena mengisahkannya kepada mereka yang asing. Perjalanan pun tak terasa sudah membawa kami kembali ke dermaga Taman Prestasi lagi. Samiri dan Pijl tampak luas. Sekaligus juga kikuk. "This is for you, please," kata Samiri sambil menyodorkan uang pecahan Rp 50 ribu dari kantongnya. "No, no. It's fine, it's on me," kata saya spontan sambil meringis lantaran terbayang profesi pemandu tur. Samiri dan Pijl pun saling menoleh. Keduanya lantas berpamitan kembali ke hotel di kawasan Ketintang. Mereka akan berangkat ke Bromo saat tengah malam. Untuk kemudian esoknya terbang pulang ke Jerman.
Dua hari di Surabaya begitu membekas dalam diri mereka. Pijl memastikannya. "Kami pasti kembali lagi ke sini," katanya setelah meminta bertukar kontak dengan saya. (Mohamad Nur Khotib)