Konsistensi Dukungan ke Palestina, Quo Vadis?

Kamis 19-10-2023,14:14 WIB
Oleh: Probo Darono Yakti

Kedua, bergema di forum-forum internasional, termasuk PBB, untuk mengedepankan two-state solution, tetapi masih dalam tahapan menempatkan Palestina sebagai negara pengamat. Tekanan dunia internasional belum juga cukup untuk menghentikan aksi kekerasan Israel terhadap Palestina. 

Platform kerja sama multilateral, misalnya, melalui OKI, juga hanya terkesan berjalan di tempat. Upaya itu juga dikeruhi dengan upaya-upaya dari kekuatan besar, baik dari Uni Eropa, AS, Rusia, maupun Tiongkok, untuk terus mencampuri urusan perang antara kedua negara dengan kepentingan besar untuk memasok senjata-senjata. 

Tentu hal tersebut menambah daftar panjang deretan peristiwa sejak perjanjian Balfour.

Ketiga, Indonesia tidak boleh hanya sebatas menunjukkan aksi-aksi solidaritas sporadis belaka. Tetapi, harus memberikan pendekatan yang lebih terstruktur, sistematis, dan masif pada kebijakan luar negerinya. 

BACA JUGA:Presiden Palestina Kutuk Pembunuhan Terhadap Warga Sipil dalam Perang Israel-Hamas

BACA JUGA:Konflik Israel-Palestina Memanas, Presiden Rusia Vladimir Putin Serukan Pembentukan Negara Palestina yang Merdeka dan Berdaulat

Mendorong blok kerja sama internasional, termasuk terpilihnya Indonesia dalam keanggotaan Dewan HAM PBB, semestinya tidak hanya dipandang sebatas seremonial atau simbolis. Tetapi, dapat menggerakkan peran serta dari seluruh negara di dunia internasional yang sedari awal melihat Palestina sebagai negara yang merdeka, untuk menekan Israel.

Dari aspek yang dikemukakan di atas, maka keempat, perlu diwaspadai akan ketergantungan dari negara-negara yang bersolidaritas kepada Palestina. Namun, poin ini tidak membicarakan bagaimana boikot terhadap produk-produk yang terafiliasi terhadap perusahaan-perusahaan berbendera Israel. 

Tetapi, dalam menjalankan solidaritas untuk mengajak keaktifan negara-negara yang mendukung kemerdekaan Palestina agar memastikan tidak adanya politik yang hipokrit dan standar ganda. 

Perlu diperiksa seberapa besar ketergantungan ekspor dan impor yang ada di antara negara-negara yang secara depan panggung mendukung Palestina, tetapi di balik itu jauh lebih besar menaruh harapan terhadao Israel dari segi komoditas tertentu. Tidak terkecuali Indonesia.

Kelima, deklarasi Balfour yang menjadi legalitas Israel untuk ”menduduki” tanah Palestina sudah semestinya dipertimbangkan untuk direvisi. Mengingat, makin lama hak dari masyarakat Palestina kian tergusur. Terutama adanya tembok-tembok yang berdiri megah merintangi penduduk di Jalur Gaza untuk berinteraksi dengan dunia luar. 

Terisolasinya Gaza dari bermacam-macam suplainya menguatkan tuduhan-tuduhan yang selama ini terlintas untuk Israel. Yakni, Israel melakukan banyak pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Termasuk pada akses manusia terhadap hal-hal mendasar seperti suplai bahan-bahan makanan dan kesehatan yang tentu membuat situasi makin asimetris dalam perang antara kedua negara.

Keenam, terdapat suatu hipokrisi di dalam melihat perang Rusia-Ukraina dengan Palestina-Israel. Hal itu karena bias-bias yang ditimbulkan dari pemberitaan media yang ada. Sementara pemberitaan tertuju pada Rusia-Ukraina, situasi riil di lapangan justru banyak tertutupi dengan pemberitaan-pemberitaan yang berkembang. 

Narasi yang dikemukakan sejumlah media terlihat mencolok dalam memihak salah satu negara yang kemudian berakibat pada kerancuan pada pemahaman umum khalayak luas di dunia internasional pada situasi yang terjadi. 

Masyarakat akhirnya menilai sendiri apa yang terjadi di medan perang tanpa menakar secara jernih terkait substansi informasi yang diberitakan media tertentu sudah memegang prinsip jurnalisme yang ketat, termasuk cover-both-sides. Hal itu cukup berbahaya, terutama dengan merebaknya perkembangan media sosial.

Terakhir, hubungan antara Indonesia dan Palestina sudah semestinya diperlakukan istimewa sebagaimana pada saat merdeka Palestina adalah salah satu pihak yang pertama mengakui kemerdekaan Indonesia. 

Kategori :