SIDOARJO, HARIAN DISWAY - Dua puluh satu ibu-ibu yang berkumpul di kantor Desa Tambakrejo, Waru, Sidoarjo, fokus mendengarkan materi mengenai ecoprint pada Minggu, 5 November 2023 lalu.
Mereka belajar membuatnya dalam kegiatan yang diadakan Yayasan Peduli Kasih Anak Berkebutuhan Khusus (YPKABK). Bekerja sama dengan Laboratorium BEVIRON, Departemen Desain Interior, Fakultas Desain Kreatif dan Bisnis Digital (FDKBD) ITS.
Dalam kegiatan bertajuk Pelatihan Kreativitas Ecoprint sebagai Jembatan Membersamai ABK & Keluarga di Desa Tambakrejo, acara tak hanya mengenai ecoprint. Melainkan ada sosialisasi mengenai anak berkebutuhan khusus (ABK)/disabilitas.
“Sebab permasalahan ABK itu kan kompleks ya. Enggak bisa hanya orang tua dan masyarakat yang membantu jadi penanganannya harus berbasis desa. Seperti yang kami coba lakukan ini,” ucap Sawitri Retno Hadiati, ketua YPKABK.
Peserta workshop sedang menyusun daun jati di atas kain untuk menghasilkan ecoprint yang diinginkan. -Majalyn Nadiranisa R/HARIAN DISWAY-
BACA JUGA: Family Workshop Bawa Metode Monsessori: Ajarkan Anak Mandiri
Sawitri menjelaskan bahwa ABK bisa berperan bersama masyarakat. Sesuai tujuan acara ini yakni menuju inisiasi desa kreatif inklusif yang merupakan kegiatan saling bantu antara warga reguler dan ABK/disabilitas.
“Insyaallah bersama produk-produk lainnya yang dibuat masyarakat di lingkungan Desa Tambakrejo, Waru, Sidoarjo, dimungkinkan terjadinya pasar kreatif inklusif,” ucapnya.
Lurah Desa Tambakrejo Nur Machmudi yang turut hadir sempat mengungkapkan dukungannya terhadap kegiatan ini dan mendukung penuh para ABK untuk makin berdaya.
“ABK itu bisa berpotensi dan berkreasi. Apa-apa yang dibutuhkan yang sekiranya proses itu bisa membentuk ke arah yang baik ya kita bantu wujudkan,” ungkapnya.
BACA JUGA: Upaya Sekolah Alam Insan Mulia Surabaya Memberi Hak Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
Dijelaskannya, warga Desa Tambakrejo yang berkumpul merupakan perwakilan dari koordinator posyandu RW/RT, kepala TK Tambakrejo, hingga ibu-ibu para ABK di desa itu. Sehingga acara ini tepat sasaran.
Setelah diberi materi mengenai tata cara hingga peratalan ecoprint, dilanjutkan praktik pembuatan ecoprint. Bersama Lea Kristina Anggraeni, S.T., M.Ds, salah seorang dosen Departemen Desain Interior ITS.
Dia memberikan pengetahuan keterampilan ecoprint yang dapat digunakan untuk banyak hal seperti sebagai elemen estetis interior yang arahnya bisa memberikan peluang untuk dijual.
“Selain itu pelatihan ini dapat memberdayakan keluarga dan bahkan ABK/disabilitas itu sendiri dengan membuat produk ecoprint,” jelasnya.
Pelatihan diikuti peserta dengan serius. Saat pertama kali datang ke kantor desa, para peserta diberi dua kain untuk dijadikan bahan ecoprint. Satu polos dan satu berwarna. Kain itulah yang mereka garap.
Dibantu beberapa mahasiswa desain interior ITS yang ikut terlibat, peserta mendapatkan pembagian daun dan bunga yang bisa dijadikan bahan ecoprint. Ada daun jati, daun singkong, bunga telang, dan masih banyak lagi.
Menurut Lea, membuat ecoprint bisa dengan daun dan bunga apa saja. Yang penting, daun dan bunga itu disusun serapi mungkin di atas bentangan kain polos yang sudah direndam dengan talas dan soda api sehingga membentuk abstrak tapi berpola.
BACA JUGA: Anak Berkebutuhan Khusus Butuh Penanganan Khusus
Dalam membuat, Lea membebaskan ibu-ibu untuk menyusun daun dan bunga itu sesuka mereka. “Ecoprint itu enggak ada yang namanya salah, semuanya benar. Jadi ini gampang banget buat ABK untuk mencoba,” ucapnya.
Seluruh kain kemudian ditutup dengan plastik. Dipukul-pukul menggunakan palu agar getahnya keluar dan meninggalkan jejak di kain. Ada pula yang menginjak-injak kain dengan keras.
Hal itu membuat Lea menyemangati peserta. “Ayo Bu. Ini juga bisa dijadikan bahan pelepas emosi lo. Ayo pukul sekencang-kencangnya,” canda Lea, lantas mengundang tawa dari peserta.
Warga Tambakrejo yang tampak senang menunjukkan hasil ecoprint yang mereka buat, saat sesi foto bersama. -Majalyn Nadiranisa R/HARIAN DISWAY-
Ketika sudah dirasa getah yang dikeluarkan cukup, kain itu dilipat menjadi lebih kecil lalu digulung di pipa dan diikat oleh tali rafia. Tidak lupa diberi nama agar tidak tertukar.
Langkah selanjutnya, mengukus kain itu selama satu setengah jam. Sambil menunggu, Sawitri memberikan pembekalan mengenai preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif ABK berbasis masyarakat.
Setelah kain ecoprint selesai dikukus, para peserta diberikan tawas dan soda api agar melanjutkan langkah terakhir di rumah masing masing yaitu fiksasi. "Peserta kami minta mengumpulkan kain yang sudah difiksasi itu untuk kami lihat hasilnya," kata Lea.
Setelah pelatihan, para peserta diharapkan bisa menyalurkan ilmunya kepada warga desa terutama ABK. "Sebab materi ini bisa memberikan dampak ekonomi jika ilmunya mengalir ke pasar kreatif inklusif," tegas Sawitri. (Rizquna Qurrota)