SEJUMLAH suster dan pemuda dengan peci hitam tampak berbaur di halaman RRI Yogyakarta. Juga, tampak para romo dan remaja gereja. Mereka sedang menyaksikan pertunjukan musik jazz yang sudah secara rutin berlangsung setiap tahun. Sejak 2019.
Jazz Kotabaru.
Ini memang bukan sekadar pertunjukan jazz. Tapi, lebih menjadi ruang bersama antar berbagai kelompok penganut agama. Terutama antara umat Islam dan Katolik di kota budaya itu. Moderasi beragama melalui jalan musik. Mungkin demikian maksudnya.
BACA JUGA :Ambyaran Jazz bersama Fusion Jazz Community di The Alana Surabaya, Rungkad pun Bergaya Fusion
Pertunjukan jazz itu mula-mula diinisiasi pengurus Remaja Masjid Syuhada. Masjid megah di wilayah Kotabaru yang lokasinya berdekatan dengan Gereja Saint Anthony of Padua Catholic dan Gereja HKBP Yogyakarta. ”Dulu namanya Jazz Syuhada,” kata Budhi Hermanto, salah seorang penggagasnya.
Masjid Syuhada berdiri sebagai monumen atas pertempuran Kotabaru 1945. Dari pertempuran melawan tentara Jepang yang ingin menduduki Yogyakarta seiring dengan melemahnya pemerintahan Kolonial Hindia-Belanda. Pertempuran yang menggugurkan para pejuang, salah satunya bernama Syuhada.
Para pejuang lainnya yang gugur diabadikan menjadi nama jalan di kawasan Kotabaru. Mereka, antara lain, Abu Bakar Ali, I Dewa Nyoman Oka, Faridan M. Noto, Ahmad Jazuli, Suroto, Sunaryo, Ahmad Zakir, dan Hadi Darsono. Total pejuang yang gugur dalam pertempuran 7 Oktober 1945 itu sebanyak 21 orang.
BACA JUGA:Sparkling Kalimas Jazz: Penampilan Musik Jazz, Wisata Kuliner, hingga Wisata Perahu
Kotabaru merupakan kawasan perumahan di sisi timur Kali Code. Dulu menjadi tempat permukiman warga negara Belanda yang datang ke Yogyakarta sebagai pengelola perkebunan dan pabrik gula. Seperti halnya perumahan Raya Darmo Surabaya. Rumahnya besar-besar. Kawasan itu kini menjadi cagar budaya.
Budhi, pria kelahiran Banjarnegara itu, sudah tinggal di Yogyakarta sejak sekolah di madrasah aliyah negeri (MAN). Ketertarikannya pada kesenian dimulai sejak ia sekolah menengah dengan menjadi pemain teater. Ketika mahasiswa, ia sempat bermusik secara amatir.
Pria yang pernah kuliah broadcasting sebelum studi di Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, tersebut sempat menginisiasi Festival Dieng. Festival itu digelar bersama kawan-kawannya dari ISI Yogyakarta. Terselenggara sekali, lalu mati.
BACA JUGA:Stone Cold Killers Tampil Nge-rock dalam Caravan Jazz Fiesta
Budhi kemudian diajak kawannya, Rendra Agusta, bergabung di Korps Dakwah Masjid Syuhada, 2018. Setahun kemudian ia mengajak Remaja Masjid Syuhada dan pemuda Gereja Katolik membuat kegiatan kreatif bersama. ”Tadinya ingin bikin pameran karya kreatif mereka,” ungkapnya.
Gagasan membikin kegiatan bersama tersebut sebagai respons atas situasi saat itu. Ketika benih intoleransi tersemai oleh politisasi agama. Polarisasi antar penganut agama yang meningkat disertai dengan melunturnya kesadaran menerima kelompok minoritas tanpa rasa curiga.
Ada problem keberagamaan yang berpotensi mengganggu hubungan baik antarumat beragama. Dengan demikian, berbagai langkah kecil atau besar perlu dikakukan untuk mengerem laju kecenderungan yang bisa mengganggu kehidupan bersama yang telah terjaga.