Syaugi: ”Mudah-mudahan ke depan hal ini bisa diperbaiki dengan baik sehingga debat ini betul-betul menunjukkan kelas calon presiden dan wakil presiden.”
Paslon nomor urut 3 Ganjar-Mahfud juga protes terhadap Gibran ke KPU. Terkait pertanyaan Gibran ke Mahfud tentang carbon capture dalam sesi debat. Akibatnya, Mahfud tidak bisa menjawab.
Setelah debat, Mahfud mengatakan kepada wartawan bahwa carbon capture itu seharusnya ditanyakan pada Debat IV Cawapres 21 Januari 2024 yang bertema Pembangunan Berkelanjutan.
”Kami sudah membuat catatan agak luas, tapi nanti pada 21 Januari 2024. Jadi, saat ditanyakan di debat kemarin, itu enggak relevan.”
BACA JUGA: Ketua KPU Kena Gigitan Mati si Wanita Emas
Seru memang. Gibran dikeroyok komentar Roy Suryo, juga Paslon nomor 1 dan 3. Sebaliknya, Gibran memang sengaja membuat jebakan-jebakan pertanyaan saat debat. Itu sudah direncanakan matang. Efeknya membuat lawan kelabakan, tak bisa menjawab.
Itu sama persis dengan yang dilakukan ayah Gibran, Jokowi, ketika debat capres di Pilpres 2019. Kala itu ia menghadapi Prabowo Subianto. Waktu itu Jokowi bertanya soal startup dan unicorn. Benar-benar membuat Prabowo blank, tak bisa jawab. Like father like son.
Para kandidat itu paham, buat mayoritas calon pemilih Indonesia di pilpres, materi debat tidak penting. Kualitas debat bukan yang utama.
Sebab, rata-rata lama sekolah populasi Indonesia 8,7 tahun pria dan 8,5 tahun perempian (berdasar hasil sensus penduduk Badan Pusat Statistik 2020). Itu berarti, rata-rata lama sekolah rakyat Indonesia adalah setara putus sekolah di kelas III SMP atau kelas IX.
Dengan kondisi itu, jika materi debat berkualitas tinggi, justru mayoritas calon pemlih tidak mengerti. Atau sulit mencerna. Atau dianggap publik, tidak seru. Debat berkualitas hanya dimengerti orang yang lama sekolah sekitar 12 tahun ke atas. Yang jumlahnya di Indonesia sekitar 5 persen.
Sedangkan para kandidat di pemilu atau pilpres butuh suara rakyat (yang 95 persen dengan rata-rata lama sekolah di bawah 12 tahun). Tidak perlu memikat yang 5 persen itu.
Akibatnya, ya… kandidat pasti memilih pertanyaan jebak-jebakan. Terbukti pada reaksi penonton langsung di lokasi debat. Mereka bersorak-sorak girang ketika ada kandidat yang tak bisa menjawab pertanyaan. Lalu, itu disebar ke media sosial. Viral. Efeknya jelas merugikan kandidat yang tak bisa menjawab.
Repotnya, moderator debat tidak cepat mengatasi jika ada pertanyaan jebakan. Misalnya, SGIE (yang diucapkan Gibran dalam lafal bahasa Indonesia) didiamkan saja oleh moderator. Mungkin juga, moderator tidak menduga bahwa Muhaimin tidak mengerti hal itu.
Dengan adanya pertanyaan jebakan Gibran, mungkin para kandidat kini merancang pertanyaan jebakan untuk debat berikutnya. Mungkin bakal ada kandidat yang balas dendam. Sebaliknya, kandidat yang bakal dibalas juga menyiapkan jebakan baru yang lebih mengejutkan musuh lagi.
Sejatinya, kita cuma menonton pertanyaan jebakan dari para kandidat di debat capres dan cawapres. Sebagai seru-seruan. (*)