NU-Muhammadiyah Bersatu…

Minggu 14-01-2024,17:36 WIB
Reporter : Dhimam Abror Djuraid
Editor : Yusuf Ridho

NU-MUHAMMADIYAH Bersatu Tak Bisa Dikalahkan. Narasi itu muncul di media sosial, menggambarkan ”persatuan” dua organisasi Islam terbesar di Indonesia itu dalam momen Pilpres 2024. Tentu koalisi tersebut bersifat informal karena dua organisasi itu tidak mungkin terlibat dalam politik praktis.

Itulah uniknya pilpres kali ini. Sepanjang sejarah Indonesia modern, yang namanya pemilu selalu punya potensi untuk memunculkan polarisasi, terutama di kalangan Islam. Namun, kali ini pemilu dianggap menjadi momentum untuk menyatukan Islam politik untuk mendukung pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.

Pasangan itu dianggap sebagai representasi dari Muhammadiyah dan NU (Nahdlatul Ulama). Meski tidak secara resmi mewakili Muhammadiyah, secara kultural, Anies dianggap sebagai representasi Islam modernis yang berafiliasi dengan Muhammadiyah.

BACA JUGA: Survei Indikator: Prabowo-Gibran Menguat di Suara Warga NU dan Muhammadiyah

Muhaimin Iskandar alias Cak Imin sudah tidak diragukan lagi darah NU-nya. Nasabnya menyambung sampai ke KH Bisri Syansuri yang berperan besar dalam pendirian NU. Faktor zuriah itu menjadi kekuatan Imin dalam meraup dukungan dari kalangan nahdliyin.

Muhammadiyah dan NU sudah jelas dan tegas tidak terlibat politik praktis. Muhammadiyah menjaga jarak aman dengan politik praktis, termasuk dengan tiga pasangan calon. Kendati demikian, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar warga Muhammadiyyin cenderung memilih pasangan Amin, terutama karena faktor Anies Baswedan.

Muhammadiyah membiarkan saja pembentukan ”Garda Matahari” oleh Buya Anwar, salah seorang ketua PP Muhammadiyah. Sayap organisasi nonformal itu mempunyai cabang di seluruh Indonesia dan umumnya dipimpin para aktivis Muhammadiyah.

BACA JUGA: Di Hadapan Warga Muhammadiyah, Prabowo Janji Indonesia Tidak Lagi Impor BBM

Secara tradisional, warga Muhammadiyah menyalurkan aspirasi politiknya melalui PAN (Partai Amanat Nasional). Namun, kali ini terjadi anomali karena PAN secara resmi mendukung Prabowo-Gibran, sedangkan akar rumput PAN lebih cenderung memilih Anies. 

Anomali itu akan memengaruhi perolehan kursi PAN di DPR RI yang diperkirakan akan tergerus. PAN mengantisipasi hal tersebut dengan melakukan flexing dengan kekuatan finansialnya yang terlihat menonjol.

NU juga tegas menolak politik praktis. Sejak dipimpin KH Yahya Cholil Staquf, NU sudah menegaskan tidak akan ikut campur dalam Pilpres 2024. Namun, kenyataannya tidak demikian. Dibandingkan dengan Muhammadiyah yang relatif anteng, dinamika politik di tubuh NU terasa lebih hangat cenderung panas.

BACA JUGA: Prabowo Beberkan Gagasan di Universitas Muhammadiyah Surabaya

Para petinggi NU tidak bisa menyembunyikan kecenderungannya untuk mendukung Prabowo-Gibran. Dalam berbagai kesempatan, indikasi dukungan itu dipamerkan beberapa petinggi NU. Hal tersebut bertolak belakang dengan manuver beberapa kiai NU yang secara terang-terangan maupun gelap-gelapan mendukung Anies-Muhaimin.

Dinamika internal itu berujung pada pemberhentian KH Marzuki Mustamar dari jabatannya sebagai ketua PWNU Jatim. Pemberhentian tersebut mengagetkan karena belum pernah terjadi sebelumnya. Tidak ada pernyataan resmi mengenai sebab pemberhentian. Namun, publik bisa menilai bahwa itu bermotif perbedaan pilihan politik.

KH Marzuki Mustamar merupakan korban kedua yang diberhentikan PBNU. Sebelumnya ada KH Abdussalam Sochib alias Gus Salam. Ia terlebih dahulu diberhentikan dari jabatannya sebagai wakil sekjen PBNU. 

Kategori :