HARIAN DISWAY - Petirtaan Jolotundo di barat, Belahan di timur. Berdasarkan kajian arkeologis, dua situs tersebut merupakan peninggalan dua wangsa besar. Isyana dan Rajasa. Agaknya membangun petirtaan di kawasan Gunung Penanggungan adalah prestise bagi kedua wangsa tersebut.
Deras air memancar dari berbagai saluran di Petirtaan Belahan. Menderu, lantas suaranya sedikit tertahan. Menjadi bergemericik ketika seseorang menengadahkan ujung mulut galon. Kemudian terdengar suara timbun-menimbun air di dalam galon tersebut.
Air dari jaladwara atau saluran Petirtaan Belahan memang tak pernah kering. Setiap hari pasti ada pengunjung yang memanfaatkan airnya. Bahkan dari warga sekitar. Mereka terbiasa membawa kendaraan bermotor dengan membawa botol-botol atau jerigen kosong. Air petirtaan itu menghidupi lingkungan sekitar.
BACA JUGA: Menyingkap Petirtaan Lereng Penanggungan (5): Jolotundo di Barat, Belahan di Timur
Tak berapa lama datang Ki Bagong Sabdo Sinukarto. Ia ketua Forum Pamong Kebudayaan Jawa Timur (FPK-Jatim). Lembaga yang kerap memperhatikan dan merawat situs-situs bersejarah. Termasuk yang ada di lereng Gunung Penanggungan.
"Mari ke atas," tawarnya pada Harian Disway. Ia menunjuk gubuk kecil dari bambu. Menuju ke situ dapat melalui tangga kecil yang ada di halaman Petirtaan Belahan. Tak begitu lebar. Tapi cukup nyaman untuk jadi tempat istirahat atau diskusi santai.
Di gubug itu, Belahan dapat leluasa dilihat dari atas. Semakin jelas bahwa konstruksinya dari bata merah. Bahan yang tak lazim digunakan pada era sebelum Kerajaan Singhasari. Maka keyakinan banyak orang, termasuk beberapa arkeolog yang menyatakan situs itu peninggalan Medang-Kahuripan, terbantahkan.
Petirtaan Belahan berfungsi sebagai sarana bersuci, sekaligus mengambil air untuk keperluan konsumsi. Sebelum para resi masa lalu berangkat ke Puncak Penanggungan. -Ahmad Rijaluddin-
Situs era Medang ada di Petirtaan Jolotundo. Sebelah barat lereng Penanggungan. Sedangkan Belahan ada di sebelah timur. Dua petirtaan yang dibangun oleh dua wangsa besar. Wangsa Isyana membangun Jolotundo, Wangsa Rajasa membangun Belahan.
"Memang jika menilik literatur-literatur sejarah, Wangsa Rajasa adalah kelanjutan dari Wangsa Isyana," ujar Ki Bagong. Wangsa Isyana merupakan wangsa keturunan Mataram Lama yang membangun Candi Borobudur dan Prambanan di Jawa Tengah.
Pada era kekuasaan Pu Sindok, dari Dinasti Medang, pusat kekuasaan dipindah ke Jawa Timur. Dari berbagai sumber, lokasi kerajaan Medang diperkirakan berada di Jombang. Upaya pemindahan itu tak hanya menghindari Merapi yang kerap dilanda gempa.
Namun, mencoba mendekatkan diri pada gunung tersuci di Jawa. Yakni Gunung Pawitra, yang kini bernama Gunung Penanggungan. Kesucian gunung itu tertulis jelas dalam kitab Tantu Panggelaran, lewat kisah Samudera Mantana. Gunung Penanggungan merupakan potongan puncak Mahameru yang dibawa para dewa ke tanah Jawa.
Sumber air yang ada di Penanggungan terdapat di lerengnya. Maka Wangsa Isyana membangun Petirtaan Jolotundo. Fungsinya sebagai tempat bersuci, sebelum beribadah dengan cara melakukan pendakian ke puncak. Itu biasa dilakukan oleh para resi, juga maharesi. Yakni seseorang yang memiliki tingkatan spiritual tertinggi.
Penguasa dari Wangsa Isyana terakhir adalah Sri Krtajaya dari Kerajaan Kediri. Ia ditaklukkan oleh Ken Angrok, pendiri Kerajaan Singhasari. Ia digelari Sri Rajasa Amurwabhumi. Sekaligus sebagai leluhur pertama Wangsa Rajasa yang menurunkan raja-raja yang berkuasa hingga era Majapahit.
Seperti tak mau kalah, Wangsa Rajasa membangun Petirtaan Belahan di sebelah barat Penanggungan. Agaknya pembangunan petirtaan adalah semacam prestise. Adu gengsi dua wangsa besar. Sebab, posisi petirtaan adalah hal yang penting sebelum melakukan pendakian. Telah disebutkan sebagai sarana penyucian para resi.
Konon, di atas kedua situs tersebut hingga ke puncak sangat jarang ditemukan sumber air. Para resi era Hindu-Buddha pun membawa bekal air dari kedua petirtaan itu sebelum melakukan pendakian.