LIU KAI 刘开 (1784-1824), prosais masyhur era dinasti Qing, pernah mengajukan pertanyaan retoris begini dalam esai terkenalnya yang berjudul "Wen Shuo" (问说): "理无专在, 而学无止境也, 然则问可少耶" (lǐ wú zhuān zài, ér xué wú zhǐ jìng yě, rán zé wèn kě shǎo yé)?
Artinya kira-kira: "Kebenaran bukanlah monopoli pihak manapun, sementara ilmu tidak ada batasnya, maka bagaimana mungkin engkau merasa sudah selesai menimbanya?"
Belakangan, apa yang ditanyakan Liu Kai tersebut disaripatikan menjadi cheng yu atau pepatah "学无止境" (xué wú zhǐ jìng) yang berarti "tidak ada kata selesai dalam mencari ilmu". Inilah mengapa jauh-jauh sebelumnya Nabi Muhammad menyabdakan, "Uthlubul ilma minal mahdi ilal lahdi" (tuntutlah ilmu sejak dari buaian sampai liang latah).
Sebab, menurut Zhang Dai 张岱 (1597-1684), esais-cum-sejarawan era dinasti Ming, walau ditimba sebanyak apapun, "Buku kehidupan bagaimana mungkin selesai dibaca semua?" (世间书怎读得尽 shì jiān shū zěn dú de jìn).
Itulah prinsip hidup Ami S. Winata. Dia ingin, sampai kapanpun, menjadi orang yang senantiasa terbuka untuk belajar apapun dan kepada siapapun.
Ami adalah pimpinan Vihara Satrya Dharma di Teluk Gong, Jakarta Barat. Biasa disebut juga sebagai Kelenteng Fenyang (汾陽寺庙), satu-satunya kelenteng yang Guo Ziyi (郭子仪) dijadikan sebagai dewa utamanya.
Dewa Guo merupakan leluhur orang-orang bermarga Guo –yang di pelbagai bahasa bisa berubah menjadi Kwik (seperti Kwik Kian Gie), atau Kwok (seperti Robert Kwok, si Raja Gula dunia), atau Gou (seperti Terry Gou, si raja Semikonduktor yang orang terkaya di Taiwan).
Ami pun bermarga Guo. Dia kakak sulung Tommy Winata, pengusaha ulung yang tentu juga bermarga Guo.
Semasa hidupnya, Dewa Guo ialah seorang jenderal yang hebatnya luar biasa di era dinasti Tang. Ia pernah nyaris seorang diri melawan dan memadamkan pemberontakan akbar menjelang akhir kekuasaan dinasti ini. Jasanya besar sekali. (*)