HARIAN DISWAY - Nadirsyah Hosen atau yang akrab disapa Gus Nadir membeberkan fakta terkait ketidaknetralan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menjelang Pemilu 2024 saat menjadi bintang tamu di acara diskusi kanal YouTube Mojokdotco yang dipandu Puthut E.A.
Diketahui, baru-baru ini PBNU menggelar pertemuan tidak resmi di Hotel Bumi, Surabaya, Jawa Timur. Pertemuan tersebut bahkan dihadiri jajaran petinggi PBNU. Mulai pengurus wilayah, pengurus cabang, ketua tanfidziyah, rais syuriah, hingga ketua umum.
"Kiai Miftachul Akhyar ada. Gus Yahya (Cholil Staquf) juga hadir," ungkap Nadirsyah seperti dilansir dari kanal Youtube Mojokdotco.
Rais Syuriah Pengurus Cabang Istimewa (PCI) Nahdlatul Ulama (NU) Australia dan Selandia Baru itu bahkan menyebutkan, terdapat "instruksi" dari PBNU untuk mendukung calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 2 Prabowo-Gibran.
"Tidak tertulis, karena bukan keputusan organisasi resmi. Tapi, menggerakkan struktur organisasi secara masif sampai ke bawah, yaitu mendukung calon 02. Ini menjadi keresahan. Mengapa kemudian PBNU melanggar apa yang disampaikannya sendiri sebelumnya, untuk kemudian tidak bermain politik praktis, tapi politik kebangsaan," ungkap Gus Nadir.
Gus Nadir memastikan pernyataan blak-blakan yang ia katakan tersebut sudah melalui proses tabayun kepada para kiai sepuh yang hadir di dalam pertemuan sehingga dapat dinyatakan valid.
BACA JUGA: Gus Ipul Pastikan Khofifah Nonaktif dari PBNU Setelah Resmi Masuk di TKN Prabowo-Gibran
"Dan, saya mendapat informasi, saya sudah cek dan tabayun ke kiai sepuh yang hadir, bahwa memang ini jadi masalah ketika, retorika di luar netral. Ternyata lain di mulut lain di pertemuan itu," imbuhnya.
Gus Nadir menyinggung pula soal perjalanan NU dan soal khitah NU 1926 di peta perpolitikan Indonesia yang berbanding terbalik dengan sikap PBNU jelang pilpres.
"PBNU itu terikat dengan khitah 1926. Khitah yang dimaksud dengan ketika NU mulai berdiri dulu tahun 1926, garis perjuangan dari Kiai Hasyim Asy'ari, NU itu bukan organisasi politik. Jadi, pertama didirikan itu jam'iyah. Jam'iyah Nahdlatul Ulama bukan organisasi politik," paparnya.
Gus Nadir menilai, adanya gerakan PBNU yang berpihak kepada salah satu paslon dan meninggalkan prinsip netralitasnya berdampak "membunuh" eksistensi civil society yang tidak berdaya ketika menghadapi pilpres.
"Kekuatan kritis di luar pemerintahan, di mana NU jadi bagian civil society menjadi tumbang," ujarnya.
Lebih parah lagi, sambung Gus Nadir, seandainya penyelenggaraan pilpres berujung konflik, NU yang selama ini menjadi elemen perekat bangsa akan dipertanyakan kemampuannya sebagai organisasi untuk menjadi penengah.