HARIAN DISWAY - Situs Kutogirang menyimpan beragam misteri. Bata-bata yang masih terpendam dalam tanah, juga misteri fungsinya pada masa lalu. Pun, nama "Kutogirang" diduga adalah nama arkhais, atau nama kuno yang masih digunakan hingga kini. Mungkin saja situs itu adalah danau buatan lampau.
Tindakning Bhatara saking Mahameru maring gunung Pawitra. Atrisadyabrata Bhatara, madyus ta sira ping tiga sarahina ping tiga sawngi. Tustusnira manring Warunggama, matangnyan hana banyu ring Gunung Pawitra, apan enti makadyus bhatara nguni kacaritanya.
BACA JUGA: Menyingkap Situs Petirtaan Lereng Penanggungan (1): Samudera Mantana di Jolotundo
Itulah kutipan Tantu Panggelaran, yang mengisahkan bahwa Dewa Siwa melakukan upacara mandi tiga kali waktu siang, tiga kali waktu malam. Tetesan airnya membasahi daun-daun pohon waru. Maka terdapat danau atau badan air di Gunung Pawitra, sebagai tempat mandi Dewa Siwa.
Di lereng Pawitra atau Penanggungan tidak ada danau. Maka bisa jadi kisah itu menjadi acuan pembangunan kolam atau danau buatan di daerah lereng gunung tersebut. Lalu dimana letak danau itu?
Papan Situs Kutogirang. Letaknya cukup terpencil. Situs itu kurang terawat. Proses eskavasinya tak pernah diselesaikan. -Ahmad Rijaluddin-
Agus Aris Munandar dalam bukunya Arkeologi Pawitra, menulis, "Di kaki Gunung Penanggungan, agak ke barat laut, terdapat Desa Kutogirang. Nama 'Kutogirang' bercirikan arkhais". Arkhais adalah nama kuno yang masih digunakan hingga kini.
Di desa itu memang terdapat situs Kutogirang. Kuto atau kutho bermakna pemukiman yang dikelilingi dinding panjang. Yang kemudian menjadi "kota". Sedangkan kata girang dalam bahasa Jawa kuno berarti "kegembiraan", "hati yang senang", atau semangat yang tinggi.
"Tetapi kata girang dalam bahasa Sunda kuno berarti hulu. Sampai sekarang masih dikenal adanya situs Banten Girang yang lokasinya di daerah hulu di utara dekat pantai," tulisnya. Maka, selain dapat diartikan sebagai pemukiman berdinding sebagai tempat untuk bersenang-senang, Kutogirang dapat bermakna pemukiman di daerah hulu.
Lalu dimana daerah hilirnya? Agus menulis bahwa diperkirakan daerah hilirnya ada di dataran rendah Trowulan, sebagai ibu kota Majapahit. "Banyak pendapat bahwa di Kutogirang dulu pernah berdiri keraton yang dikelilingi pemukiman penduduk yang ramai. Seperti kota. Di desa tersebut terdapat struktur tembok bata yang meluas, menerabas sawah dan lahan kebun penduduk," tulisnya.
Kitab Tantu Panggelaran menulis bahwa Dewa Siwa ber-atrisandyabrata di danau, di Lereng Penanggungan di sebelum Ia pergi ke Gunung Kemukus. Diperkirakan danau buatan tersebut adalah Situs Kutogirang saat ini. -Ahmad Rijaluddin-
Penelitian arkeologis pernah dilakukan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pada 1980. Hasilnya belum memuaskan, karena penelitian tersebut tidak pernah dilanjutkan. Situs Kutogirang pun kondisinya tak terawat. Dinding-dindingnya keropos, banyak retakan dan batanya banyak yang hancur.
Proses pemaprasan pun belum seluruhnya. Masih banyak bata yang tertimbun dan terlihat ujung atau separuhnya saja di dinding tanah. Di sekitar jalan menuju situs pun banyak berserakan batu bata kuno. Menunjukkan bahwa situs tersebut tentu cukup luas. Tak hanya yang tampak seperti sekarang saja.
Namun, denahnya masih dapat diketahui berbentuk empat persegi panjang. Diduga terdapat celah dan lubang pada beberapa bagian dindingnya. Maka situs Kutogirang sulit untuk disimpulkan sebagai bagian dari bangunan pemukiman.
Sangat mungkin bahwa situs itu merupakan danau buatan. Dinding batuannya berderet dan dibuat cukup rapat, untuk menahan air agar tidak merembes ke luar. Bisa jadi danau buatan Kutogirang mirip dengan Kolam Segaran di kawasan Trowulan. Air yang digunakan untuk mengisi danau buatan tersebut berasal dari air hujan, juga dari petirtaan Jolotundo.
Dapat dipastikan pada masa lampau, debit air Jolotundo sangat besar. Terus mengalir deras meski musim kemarau. Agus pun menduga bahwa bangunan kolam buatan Kutogirang dibangun bertingkat-tingkat.
Kolam paling bawah berada di bagian utara. Kemudian tingkat kedua di tengah, dan pada bagian tertinggi ada di bagian belakang, dekat lereng. Jika seperti itu, tak jauh berbeda dengan kondisi petirtaan Jolotundo yang dulu memiliki kolam bertingkat pula. Bangunan petirtaan Jolotundo yang ada saat ini merupakan tingkat tertinggi.