Ternyata muncikari yang ditampung diam-diam berontak. Mereka keluar dari panti, lalu mendirikan rumah bordil di seberang panti. Memanfaatkan momentum. Di panti ada ratusan mantan pelacur. Mereka ditarik muncikari agar praktik lagi di rumah bordil itu.
Pasti dan cepat, para mantan pelacur ikut muncikari, masuk rumah bordil. Sudah jelas, penghasilan sebagai pelacur mereka anggap besar bila dibandingkan dengan menjahit yang belum tentu dapat pekerjaan.
BACA JUGA: Kebaya Merah Naikkan Kualitas Porno
Satu rumah bordil itu langsung diisi puluhan pelacur. Maka, muncikari membangun lagi di sebelahnya, membangn lagi di sebelahnya lagi. Akhirnya jadi deretan rumah bordil. Marketing dari mulut ke mulut, deretan rumah bordil itu langsung penuh pengunjung. Langsung laris.
Lama-lama Gubernur Ali Sadikin tahu itu. Akhirnya wilayah itu ditetapkan sebagai lokalisasi pelacuran melalui SK Gubernur DKI Jakarta itu. Mungkin, Ali Sadikin kesal karena para pelacur dan muncikari itu tidak bisa dibina di panti. Karena itu, sekalian diresmikan sebagai lokalisasi pelacuran, dengan istilah ”pelaksanaan usaha wanita tunasusila”.
Setelah resmi jadi lokalisasi pelacuran, pelanggan makin banyak. Pelanggan merasa aman. Tidak dirazia seperti saat melacur di pinggir rel kereta api Ancol.
BACA JUGA: Kejari Pandeglang Jadi Sorotan di Kasus Revenge Porn Mahasiswi Banten
Pada awal pembukaan lokalisasi, ada sekitar 300 PSK dan 76 germo. Dalam waktu singkat, jumlah pelacur terus bertambah. Rumah bordil juga terus dibangun, menyesuaikan minat pembeli.
Lahan lokalisasi juga berkembang hingga 12 hektare. Kemudian, dikenal sebagai lokalisasi terbesar di Asia Tenggara. Pada 1980–1990, jumlah wanita tunasusila (WTS) lebih dari 2.000 orang, dikontrol 258 germo.
Mereka tinggal di 277 unit bangunan permanen dan semipermanen. Jumlah kamar tercatat 3.546 kamar. Sangat ramai dan terkenal.
Tempat itu menjadi sumber penghidupan bagi lebih dari 700 pembantu pengasuh, sekitar 800 pedagang asongan, dan 155 tukang becak. Belum lagi tukang cuci pakaian dan pemilik warung-warung makanan di sekitarnya.
Pada 1999 Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso menutup kompleks pelacuran itu. Pada 31 Desember 1999, lokres Kramat Tunggak secara resmi ditutup melalui SK Gubernur KDKI Jakarta No 6485/1998. Selanjutnya, Pemda Provinsi DKI Jakarta membebaskan lahan eks lokres Kramat Tunggak.
Di lokasi itu, dua tahun kemudian dibangun Jakarta Islamic Centre, berdiri hingga sekarang.
Ternyata para pelacurnya tidak berubah jadi penjahit. Tetapi, tersebar lagi di berbagai daerah di Jakarta. Di antaranya, berkumpul di Kalijodo, kemudian ditutup juga oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Dan, para pelacur terus tersebar di sana.
Jadi, film Keramat Tunggak seolah menghidupkan lagi kenangan orang yang lahir di bawah tahun 1990-an, tentang reputasi kompleks pelacuran itu. Lebih tepat, judul film itu merupakan kode keras ”memanggil” penonton yang lahir pada tahun segitu.
Adegan-adegan di film tersebut sebenarnya tidak ada hubungan seks vulgar. Walau tentu berbau seks. Tapi, judulnya jadi ikon marketing yang menarik penonton berbayar. (*)