DALAM panorama ekonomi Indonesia, sektor pertanian menjelma menjadi tulang punggung yang strategis. Harapannya adalah sektor itu tidak hanya mampu membawa kemandirian dan ketahanan pangan, tetapi juga menciptakan stabilitas harga dan membuka lapangan kerja.
Saat ini pentingnya peran sektor pertanian dapat dilihat melalui kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 12,4 persen pada 2022, terbesar ketiga setelah industri pengolahan dan perdagangan besar dan eceran.
Bahkan, kontribusi sektor pertanian terus meningkat, mencapai 13,57 persen pada triwulan III tahun 2023 (BPS).
BACA JUGA: Walhi Kritisi Program Hilirisasi yang Dibahas di Debat Cawapres
Produktivitas pertanian berkaitan erat dengan konsep produksi Cobb Douglas (1927) yang menekankan keselarasan antara tenaga kerja dan modal.
Oleh karena itu, investasi dalam pelatihan dan pengembangan keterampilan petani menjadi kunci untuk meningkatkan produktivitas.
Penerapan teknologi pertanian modern juga diperlukan untuk memperkuat efisiensi dan daya saing sektor pertanian.
BACA JUGA: Prabowo Sebut Indonesia Perlu Hilirisasi di 21 Sektor Industri
Meningkatkan Taraf Hidup Petani Melalui Hilirisasi
Namun, upaya meningkatkan produktivitas pertanian tidak terlepas dari tantangan seperti keterbatasan sumber daya dan hambatan pascapanen lantaran karakteristik produk pertanian yang rentan terhadap kerusakan. Dari sanalah hilirisasi produk hasil pertanian berperan.
Urgensinya tidak hanya terletak pada value added yang dihasilkan, tetapi juga dampak bagi petani dan perekonomian. Hilirisasi memungkinkan petani terlibat dalam proses manufaktur dan membuka pintu menuju pendapatan yang lebih tinggi.
Kajian Bank Indonesia menyoroti bahwa kunci keberhasilan dalam proses hilirisasi ekonomi terletak pada produk yang sesuai dengan permintaan pasar. Dalam mendukung hal itu, pengembangan hilirisasi dapat dimulai dengan mengidentifikasi produk olahan pangan yang diminati pasar.
BACA JUGA: SliweRun Bersama Ganjar Pranowo: Saya Senang Ada Produk Hilirisasi Petani Muda
Proses itu kemudian diperluas dengan mengidentifikasi pihak yang dapat mengolah produk tersebut untuk memenuhi kebutuhan produksi, membentuk kluster pangan yang berpotensi berkembang. Dari sana, fokus bergeser ke tahap penguatan kelembagaan petani sebagai elemen kunci dalam meningkatkan kualitas serta kuantitas produksi.
Tahap itu pada gilirannya didukung melalui kerja sama erat dengan mitra sebagai offtaker, memastikan distribusi dan kelangsungan produk hilir secara efisien.