HARIAN DISWAY - Di tengah gunjingan politik soal presiden yang turun gelanggang dalam penyelenggaraan pilpres, saya tertegun dalam kegemparan yang menestapakan jiwa menyimak beragam berita KPK OTT di Kabupaten Sidoarjo. Ini melengkapi pementasan laku tidak semestinya para pelayan publik.
Keterperangahan semakin memuncak karena hal ini terjadi di Sidoarjo. Kabupaten yang menorehkan ingatan mengenai nama-nama kepala daerah periode lama yang terbelit kasus korupsi. Kini yang terkena OTT KPK adalah segmen personal yang berkenaan dengan institusi penjemput pajak.
BACA JUGA: Etika Netralitas dalam Pemilu: Antara Ethics Weber dan Wolf
Pajak adalah lambang “darah segar” rakyat yang disedot oleh negara. Tanpa pajak negara ini tidak dapat menjalankan tugas mewujudkan tujuannya. Berarti semua aktor jabatan negara itu mengoperasikan diri dengan biaya dari rakyat. Pajak merupakan energi yang menjadi kekuatan otoritatif pemerintahan berjalan.
Adalah keonaran apabila “pengembala pajak” mereduksi urusan insentif yang dikebiri. Atau biarlah segala analisis mewarnai apa yang terjadi berkenaan dengan OTT yang dilakukan KPK yang marak di banyak tempat, justru jelang pemilu 14 Februari 2024.
Lebih seru lagi adalah peristiwa OTT tersebut terhelat pada Rajab 1445 Hijriah sebagai bulan menanam kebaikan dengan melakukan metamorfosis ruhani agar insan beriman menyemai supremasi takwanya di Ramadan nanti.
Trash is Better
Peristiwa korupsi yang digelar sepanjang waktu ini selalu menampilkan laku yang ganjil. Bagaimana korupsi terus terjadi dan menyeruak ke permukaan? Seolah tatanan pengendalian internal tidak berjalan.
Bukankah pengawasan oleh lembaga yang mestinya menata administrasi pembiayaan diseyogiakan telah memberikan rambu-rambu hukum yang membatasi gerak korupsi. Kejadian korupsi yang melibatkan pembuat kebijakan maupun ASN merupakan fenomena yang amat “brutal” dalam bernegara. Kekuasaan birokrasi terpotret menjadi ajang yang menjerembabkan pribadi yang menginstitusi dalam pesta besar “madu beracun” yang bernama korupsi. Madu yang beracun, manis memang, tapi mematikan. Hayat dipungkasi olehnya.
Kisah korupsi nyaris serupa cerita hidup yang dituang David Albahari, Cerpenis asal Serbia dalam karyanya Trash is Better, Cinta Semanis Racun (2016). Inilah kasmaran harta yang mematikan.
Apa yang dapat diteladani dari otoritas negara yang mengalami “sampar” korupsi? Belum tuntas kasus megakorupsi di berbagai lembaga atau kementerian, KPK terus menunjukkan kedigdayaannya menangkap pemangku kuasa di daerah. Operasi di daerah jelang gawe politik akan muda dipersepsi bersentuhan dengan pemilu. Tapi itu biarlah menjadi bahan pemenungan ahlinya saja.
Tulisan ini saya anggitkan sebagai refleksi yang kontemplatif atas realitas yang memperhinakan peradaban bangsa berupa korupsi yang kian vulgar. Kita semua menyaksikan bahwa para koruptor negeri ini mayoritas berkedudukan “terhormat”, status sosial bergengsi, dan rata-rata mengenyam pendidikan tinggi, lantas terpelanting akibat lemahnya integritas diri.
Dalam OTT yang dilakukan KPK di Kabupaten Sidoarjo, kini ada 10 orang yang ditangkap KPK, termasuk ASN Pemkab Sidoarjo. --
Rakyat terhenyak dan tampak terpaku tidak mampu beranjak. Rasa geram sebagai warga negara atas penggarongan yang bersarang dalam gedung-gedung kedaulatan, sungguh menyembulkan kekesalan paripurna.
Korupsi pada setiap segmennya, benar-benar menggerogoti daya tahan negara dan merampok hak-hak warga secara terencana. Laku korupsi oleh jajaran politisi, birokrasi serta aparatur penegak hukum, menjadikan mereka berjarak dengan makna negara hukum (rechtsstaat).
Penyelenggara negara terlukis melumuri wajahnya dalam bungkus kebijakan anggaran yang disantap berjamaah. Penstudi hukum yang memperkenalkan beragam nilai mulia good governance, mengalami kejumudan. Demokrasi diinjak dan negara hukum dijungkalkan dalam balutan arogansi nan serakah.