SAYA selalu deg-degan setiap menonton tim nasional sepak bola kita bertanding. Hati ini begitu kuat ingin tim pujaan kita menang, tapi apa daya sering kali lawannya terlalu digdaya. Berkali-kali suasana hati seperti itu terjadi.
Itu pula yang terjadi saat tim Garuda melawan timnas Australia dalam fase knockout di Piala Asia. Siapa yang tidak mimpi tim kita yang bertengger di peringkat ke-142 dunia bisa mengalahkan tim berperingkat ke-40-an.
Jauh benar levelnya. Antara langit dan atas bumi. Baina as-sama wa al-ardi. Antara pungguk dan bulan untuk bisa mengalahkannya. Tapi, karena bola bundar, asa bisa mengalahkan Australia tetap terpancang di benak. Itulah yang membuat deg-degan.
BACA JUGA: Penyebab Indonesia Kalah 0-4 oleh Australia di Piala Asia 2023 Menurut Shin Tae Yong
Bahkan, rasa deg-degannya jauh mengalahkan perasaan menghadapi hasil pemilihan presiden yang akan berlangsung 14 Februari 2024. Soal itu, saya hanya berdoa semoga berjalan aman dan langsung umum bebas rahasia. Plus, jujur dan adil.
Bayangkan saja, mimpi menang atas Australia tersebut menjadi kenyataan. Karena mimpi, terkadang akal sehat tidak berjalan. Lha wong mimpi. Jadi, kalau akhirnya kita dibantai empat gol tanpa balas, itulah yang terjadi di dunia nyata.
Toh, apa pun juga, timnas Indonesia berhasil masuk 16 besar sudah harus disyukuri. Saya termasuk orang yang selalu optimistis. Percaya proses. Bukan yang melihat sesuatu dari yang negatif, apalagi pesimistis. Apa pun capaian tim kita sekarang, ada modal maju.
BACA JUGA: Analisis Taktik Timnas Indonesia Lolos ke 16 Besar Piala Asia 2023, Strategi STY Dipuji Jepang
Kalau mau cari kurangnya, pasti banyak. Misalnya, ada yang bilang kualitas pemain naturalisasinya kurang oke. Pelatihnya kurang pintar meramu strategi. Bahkan, sampai ada komentator yang tidak pernah melihat sisi baik dari Shin Tae-yong. Masih mempersoalkan pemain naturalisasi dan pribumi.
Saya sih melihat dalam beberapa laga terakhir, timnas Indonesia sudah berkembang amat pesat. Kalau dulu selalu ada persoalan daya tahan fisik (endurance), kini tak tampak lagi. Mereka selalu tetap bertenaga sampai laga berakhir. Tidak lembek sampai babak kedua.
Barangkali, kalau kita belum bisa moncer di laga internasional, itu bukan soal teknis. Melainkan, soal nonteknis: paradigma dan ekosistem. Paradigma yang saya maksud adalah landasan berpikir untuk apa sepak bola Indonesia dibangun. Lalu, ekosistem menyangkut sistem pembinaan, tata kelola kompetisi, dan dukungan publik.
BACA JUGA: Piala Asia 2023: Melihat Kembali Perjalanan Timnas Indonesia Hingga Capai 16 Besar
Harus diakui, belum ada kesatuan dalam membangun paradigma sepak bola di Indonesia. Sekadar sebagai instrumen politik atau industri olahraga. Rasanya kecenderungan untuk sekadar menjadikan instrumen politik di sepak bola masih sangat tinggi. Meski dengan koridor regulasi bola yang sudah ketat.
Belajar dari negara lain, pengembangan sepak bola seharusnya bersiteguh untuk menggunakan paradigma industri olahraga. Sport industries. Karena itu, klub bola harus dikelola secara profesional. Berorientasi pada menciptakan hiburan olahraga yang bisa dimonetisasi.
Menjadikan sepak bola sebagai industri sebetulnya sudah mulai berjalan sejak satu dekade terakhir. Hanya, perkembangannya sempat terganjal oleh politisisasi sepak bola. Akibatnya, PSSI sebagai otoritas tertinggi masih menjadi ajang rebutan para politikus untuk menguasainya. Politisasi tak lagi di level klub, tapi di level otoritas tertinggi sepak bola kita.