Upaya-upaya menghapus kemiskinan perlu dilakukan secara komprehensif dan kolaboratif. Komprehensif artinya bersinergi dengan program-program yang bertujuan untuk pemberdayaan dan kolaboratif artinya melibatkan partisipasi seluruh elemen pemangku kepentingan secara pro-aktif, aktif dan berkesinambungan.
Sebagaimana digambarkan dalam teori-teori governance oleh Mark Bevir dan atau collaborative governance oleh Ansell-Gash atau Emerson, Balogh, Nabatchi.
Bansos cadangan beras pemerintah seperti yang diserahkan Presiden Jokowi kepada warga Klaten ini alangkah baiknya disalurkan dengan mengajak semua kontestan pemilu presiden. --
Dengan demikian tentunya tidaklah mengada-ada bila publik mempertanyakan apa latar belakang dan tujuan Bansos yang digelontorkan jelang pemilu? Apakah kegiatan semacam itu cenderung pada upaya penghapusan kemiskinan ataukah mencari simpati/dukungan?
Dengan menggunakan pisau analisa teori-teori governance dan collaborative governance maka indikatornya sangat jelas, yaitu siapa saja aktor yang terlibat/dilibatkan dalam kegiatan Bansos macam ini?
Kalau mau benar maka mestinya presiden menyalurkan Bansos mengajak semua kontestan pemilu -khususnya semua pasangan calon pilpres- bersama-sama. Toh sumber anggarannya telah diketok bersama-sama pula.
Mengapa takut? Bukankah bila itu dikakukan tidak menurunkan citra/pamor presiden incumbent bahkan malah bisa sebaliknya akan makin mendongkrak kecintaan rakyat kepadanya sebagai figur pengayom dan “pengayem” rakyat.
Ke mana saja penasihat di lingkaran satu istana belakangan ini? Mengapa cara ini tidak diusulkan agar makin banyak orang yang tegak lurus melihat presiden yang mampu menjadi kepala negara.
Yang saat ini terjadi malah sebaliknya. Menteri sosial pun tidak pernah diajak. Ada apakah sebenarnya? Lantas yang lebih mengherankan lagi, ketika penyaluran Bansos ini dikritik ada ketua partai politik yang merupakan keluarga presiden malah membandingkan “lebih parah mana dengan Bansos Covid yang dikorupsi?” yang melibatkan Menteri Sosial Juliari Batubara.
Pernyataan dan pertanyaan menimbulkan persoalan baru dalam perspektif hukum. Mengapa? Karena perbuatan “korupsi” dan perbuatan “penyalahgunaan wewenang” sama-sama merupakan perbuatan melanggar hukum.
Yang satu melanggar hukum pidana karena memenuhi unsur-unsur korupsi. Satunya lagi berpotensi melanggar hukum administrasi karena pemberian bantuan sosial dilakukan dengan tidak mengindahkan asas-asas umum pemerintahan yang baik (Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur) atau bahkan On Doelmatigheid alias tidak sesuai dengan tujuan yang semestinya.
Terlepas dari panjangnya proses pembuktian pelanggaran hukum, tapi yang pasti kedua jenis perbuatan itu melanggar etika.
BACA JUGA: Mengajak Capres-cawapres Berucap Gong Xi Fa Cai: Ngrumangsani Hidup
Undang-undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan telah sepuluh tahun diundangkan. Seyogianya undang-undang ini telah mampu mengubah perilaku pejabat publik penyelenggara pemerintahan menghadapi tantangan menyongsong Indonesia emas dengan mentalitas birokrasi yang semakin adaptif, agile, kolaboratif, dengan didasari mental kejujuran dan keteladanan serta kenegarawanan.
Sehingga watak-watak politik yang saling menjatuhkan, menjual pencitraan, mengumbar janji-janji demi merebut, dan atau melanggengkan kekuasaan harus ditinggalkan sejak detik pertama ketika dilantik dan disumpah sebagai pejabat publik. Karena di pundaknya terbebani tanggung jawab untuk mengelola kewenangan termasuk dana publik maka harus terbebas dari kepentingan pribadi (self interest), keluarga, maupun golongan/kelompok. (*)
Oleh Dr. Didik Sasono Setyadi, SH, MH: Pengajar Etika dan Akuntabilitas Publik dan Dosen Tamu di Sekolah Pascasarjana Unair