Dahlan Iskan Adalah Jawa Pos (2-Habis): Ketika Media Menggugat Diri Sendiri

ILUSTRASI Dahlan Iskan Adalah Jawa Pos (2-Habis): Ketika Media Menggugat Diri Sendiri-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
SATU peristiwa menarik perhatian publik media beberapa waktu ini. Bukan karena berita besar, melainkan karena sebuah langkah hukum dari internal sebuah media besar terhadap tokoh yang sangat lekat dengan sejarahnya.
Nama lembaganya: Jawa Pos. Bukan soal siapa yang benar. Bukan soal siapa yang menang. Namun, ini soal cara. Soal bagaimana institusi media menangani perbedaan dan konflik di dalam rumahnya sendiri.
Ketika media menggunakan jalur hukum untuk menyelesaikan persoalan internal yang bersifat sejarah dan relasi, itu bukan sekadar langkah hukum. Itu langkah yang sarat risiko. Bukan hanya risiko hukum, melainkan juga risiko reputasi. Risiko kehilangan simpati publik. Risiko kehilangan kepercayaan.
BACA JUGA:Jawa Pos Adalah Dahlan Iskan (1): Dibesarkan dengan Cinta, Dibalas Air Tuba
BACA JUGA:Jawa Pos Adalah Monster
Sebab, publik tak hanya melihat substansi perkara. Publik juga membaca tanda. Dan media, sepanjang sejarahnya, bukan hanya kumpulan berita –ia adalah tanda. Ia adalah simbol nilai. Tempat bertemunya kepercayaan dan informasi.
Karena itulah, langkah menyeret nama yang sudah menjadi bagian dari narasi media ke jalur polisi bisa menimbulkan guncangan. Tidak hanya ke dalam. Tetapi, juga ke luar. Ke mata publik. Ke hati para pembacanya.
Persoalannya bukan pada legal atau ilegal. Namun, pada etika dan cara. Sebab, media seharusnya menjadi ruang dialog. Menyelesaikan perbedaan dengan kepala dingin. Bukan dengan saling tuding di ruang publik yang gaduh.
BACA JUGA:Ada Apa dengan Dahlan Iskan dan Jawa Pos? (1): Sukses Membesarkan, tetapi Bukan Pemilik Tunggal
Banyak institusi tumbuh besar karena menjaga cerita baiknya. Bukan karena selalu sempurna. Melainkan karena tahu kapan harus memelihara warisan dan kapan harus membuka ruang perbaikan.
Media adalah lembaga yang menjaga demokrasi. Di sisi lain, ia juga harus menjaga diri sendiri. Jangan sampai, karena satu keputusan yang terburu-buru, justru mengguncang bangunan yang sudah lama disusun.
Kita semua tahu, media dibangun bukan hanya oleh angka dan laporan keuangan. Tapi, oleh semangat. Oleh perjuangan. Oleh cerita panjang yang ditulis banyak orang, dari banyak generasi.
BACA JUGA:Ada Apa dengan Dahlan Iskan dan Jawa Pos? (1): Sukses Membesarkan, tetapi Bukan Pemilik Tunggal
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: