Jawa Pos Adalah Dahlan Iskan (1): Dibesarkan dengan Cinta, Dibalas Air Tuba

ILUSTRASI Jawa Pos Adalah Dahlan Iskan (1): Dibesarkan dengan Cinta, Dibalas Air Tuba-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
DI tengah gempuran disrupsi digital, dunia media Indonesia menghadapi ujian baru. Bukan hanya soal bisnis. Melainkan juga soal nilai. Soal etika. Soal marwah.
Baru-baru ini publik dikejutkan oleh konflik di tubuh Jawa Pos Group. Bukan karena soal konten atau independensi editorial. Melainkan, karena sengketa hukum antara tokoh penting dalam sejarah media itu dan manajemen yang kini mengelolanya.
Apa pun duduk perkaranya, satu hal harus dijaga: jangan sampai konflik internal itu menghancurkan institusi medianya sendiri.
BACA JUGA:Ada Apa dengan Dahlan Iskan dan Jawa Pos? (1): Sukses Membesarkan, tetapi Bukan Pemilik Tunggal
Media adalah tiang penyangga demokrasi. Ia harus kokoh berdiri, bahkan ketika para pengelolanya berbeda pandangan. Karena yang sedang dijaga bukan sekadar perusahaan, melainkan juga kepercayaan publik. Kredibilitas. Integritas. Warisan nilai yang dibangun bertahun-tahun.
Tak sedikit media besar runtuh bukan karena tekanan luar. Tapi, karena pecah dari dalam. Karena kehilangan arah, kehilangan semangat awal, kehilangan kesadaran bahwa mereka tidak hanya menyebarkan informasi, tetapi juga mewariskan harapan.
Pers Indonesia punya sejarah panjang tentang idealisme dan perjuangan. Termasuk ketika media lokal tumbuh menjangkau daerah-daerah yang dulu sepi informasi. Dalam sejarah itu, banyak figur lahir. Banyak tokoh berjasa. Tapi, sejarah tidak boleh didekati dengan cara transaksional. Media bukan sekadar aset.
BACA JUGA:Ada Apa dengan Dahlan Iskan dan Jawa Pos? (3-Habis): Garap Pembaca Muda di Tengah Disrupsi Media
BACA JUGA:Suatu Hari… di Jawa Pos
Di sinilah pentingnya kebijaksanaan. Bukan untuk membela satu pihak dan menyalahkan yang lain. Tapi, untuk mengingatkan: ketika sebuah institusi media menyeret sejarahnya sendiri ke ruang konflik hukum, publik akan bingung. Pegangan runtuh. Citra tercoreng.
Ini soal simbol. Soal memori kolektif. Soal bagaimana publik menilai satu institusi dari cara ia memperlakukan masa lalunya.
Media besar dibangun bukan hanya dari uang dan cetakan. Melainkan, dari nilai. Dari kerja keras. Dari kepercayaan publik yang pelan-pelan dikumpulkan dan bisa cepat hilang kalau salah langkah.
BACA JUGA:Jawa Pos Adalah Monster
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: