Jejak Panjang Bom Atom Jepang, Delapan Dekade Silam (1): Menginspirasi Seni hingga Anime

Jejak Panjang Bom Atom Jepang, Delapan Dekade Silam (1): Menginspirasi Seni hingga Anime

SEPASANG LELAKI-PEREMPUAN melihat kota Hiroshima yang masih rata dengan tanah pada 1948. Tiga tahun sebelumnya, sekitar 140 ribu orang tewas akibat bom atom AS.-AGENCE FRANCE-PRESSE-

Siapa sih yang belum pernah mendengar Attack on Titan di era sekarang? Anime legendaris asal Jepang itu menggambarkan konflik besar seputar perang dan perdamaian dunia. Menariknya, para penulis dan seniman Jepang kerap menunjukkan ketertarikan terhadap tema tersebut. Seolah-olah ada “obsesi” tersendiri.

KALAU ditelusuri lebih dalam, luka sejarah dari delapan dekade silam menjadi akar narasi-narasi tersebut. Perang Dunia II menyisakan trauma mendalam bagi semua orang. Apalagi bagi mereka yang mengalami langsung tragedi pengeboman Hiroshima dan Nagasaki.

Anda sudah tahu. Kota-kota itu luluh lantak tak bersisa. Sebanyak 140 ribu jiwa di Hiroshima dan 74 ribu jiwa di Nagasaki lenyap begitu saja. Bom atom yang dijatuhkan oleh Amerika, 6 dan 9 Agustus 2025, mengubah wajah Jepang secara drastis. Dalam sekejap, bukan hanya bangunan dan infrastruktur yang hancur. Tapi juga harapan dan masa depan.

Kehilangan yang masif itu menyisakan jejak yang tak mudah terhapus. Menjalar ke generasi-generasi berikutnya. Luka itu perlahan mengendap, membaur, dan membentuk bagian tak terpisahkan dari budaya Jepang.

BACA JUGA:K-Pop dan Anime Picu Meningkatnya Minat Belajar Bahasa Korea dan Jepang di Kalangan Remaja

BACA JUGA:Kopi Indonesia Bersiap Rebut Kembali Pasar Kopi Jepang lewat Diplomasi Rasa

Sedikit menyentil, ucapan seorang profesor sejarah Universitas Ottawa William Tsutsui dikutip oleh Agence France-Presse, 4 Agustus 2025. Menurutnya, pengalaman menyelami rasa sakit yang luar biasa serta bangkit dari trauma adalah elemen berulang dalam budaya Jepang. Dan justru, hal itulah yang membuat dunia terpikat.

Bagaimana tidak? Narasi seperti itu menyusun ulang persepsi kita tentang bagaimana sebuah bangsa memaknai penderitaan. Jepang, melalui karya-karyanya, menjadikan trauma bukan sebagai luka yang harus disembunyikan, melainkan sebagai kekuatan yang bisa dituturkan dengan keindahan dan integritas.

Ya, itulah benih-benih imajinasi yang tumbuh di benak para seniman Jepang. Tak terbatas pada anime dan manga, tema serupa juga menjelma dalam karya tulis seperti puisi dan novel.

Sebagian karya menyentuh luka pengeboman secara tersirat, membiarkan pembaca merasakan getirnya lewat tulisan. Misalnya, karya Studio Ghibli yang berjudul Grave of Fireflies. Tapi, ada juga memilih untuk menjauh dari trauma eksplisit. Seperti buku The Emissary, karya Yoko Tawada.


PENGAMEN JALANAN melantunkan lagu di Taman Kenangan Kedamaian di Hiroshima, 5 Agustus 2025. Ia membuat orang terus mengenang bom atom sebagai kekejian perang.-ROCHARD A. BROOKS-AFP-

“Pengalaman bom atom belum pernah ada dalam sejarah sebelumnya. Pengalamannya susah menemukan tempatnya di hati manusia sebagai kenangan,” kata Tawada, kepada AFP.

Ia mengisahkan bahwa inspirasinya datang dari benang merah yang menyatukan luka-luka negara asalnya itu. Bencana nuklir Fukushima pada 2011 dan “wabah Minamata” di tahun 1950-an.

Tawada menarasikan generasi yang tumbuh di tengah bayang-bayang racun dan radiasi, namun tetap mencari cara untuk bernapas di dalam dunia yang telah berubah bentuk. Dalam The Emissary, ia memilih untuk tidak membedah trauma secara gamblang, tetapi menyulamnya menjadi absurditas keseharian.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: